Tama menyapu lantai Arunika. Dia menggeser kursi-kursi, menurunkannya dari meja, kemudian membuat tulisan di atas chalkboard. Hari itu, mereka menyajikan Primanti Sandwich dan Dagwood Sandwich. Untuk minuman, seperti biasa, mereka hanya menyajikan kopi hitam dan air mineral.
"Terus terang, aku mengkhawatirkan mereka," kata Tari dari dapur. Dia sedang memeriksa bahan-bahan makanan untuk roti hari itu.
"Siapa?" tanya Tama dari ruang depan.
"Azura dan Bas, tentu saja!" kata perempuan itu.
"Kenapa kamu mengkhawatirkan mereka? Tenang saja, mereka akan baik-baik saja." Tama mendesah. "Apa yang dikatakan netizen itu hanya mitos. Kedai kita baik-baik saja."
"Semestinya mereka nggak bertemu di sini," kata Tari, menghiraukan pendapat Tama.
Tama yang mendengar itu hanya mendesah. Dia menyesal telah menceritakan kisah Bas pada Tari. Istrinya itu pasti berpikir macam-macam dan mempercayai komentar orang-orang mengenai Arunika. Namun, terkadang Tama juga memikirkan hal serupa, hanya saja tidak terlalu melekat di otaknya seperti Tari.
"Lupakan saja," kata Tama. "Kita harus segera menyiapkan Arunika. Sebentar lagi orang-orang akan datang."
"Kira-kira, mereka hari ini akan datang atau nggak, ya? Aku mau kasih mereka roti gratis."
Kali ini, Tama tidak menyahut ocehan Tari. Dia sibuk dengan menyiapkan Arunika. Setelah menulis menu di chalkboard, Tama membawa papan itu keluar. Dia meletakkannya di sisi pintu, kemudian dia memfotonya. Setelah mengambil foto, Tama mengunggah foto tersebut ke media sosialnya.
Setelah membuat caption, Tama membalik papan yang bertuliskan "tutup" menjadi bertuliskan "buka". Setelah puas, Tama menutup kembali pintu Arunika dan kembali ke kasir.
Di kasir, Tama menekan bel meja. Bel itu berbunyi nyaring, sampai-sampai membuat Tari menggeleng ketika mendengarnya.
"Ah, berfungsi," kata Tama.
Maka, Arunika hari itu siap menerima pelanggan.
***
Azura menatap jam yang tertera di layar ponselnya. Pukul lima lebih lima belas menit. Semestinya, saat ini Arunika sudah buka. Semestinya, dia berangkat saja agar Bas tidak menunggu lama dan mereka bisa berdua lebih lama di sana.
Namun, Azura enggan berangkat. Dia tidak tahu harus bicara apalagi pada Bas. Dia menyadari kesalahannya dan dia malu untuk bertemu dengan Bas. Azura mendesah berkali-kali, merasa bodoh dengan tindakannya sendiri.
Setelah memantapkan hatinya, Azura berdiri, lalu berjalan ke arah parkiran motor. Dia memutuskan untuk berangkat ke Arunika, walaupun dia akan malu bertemu dengan Bas.
Dia malu karena ditolak oleh Bas.
Astaga, dia sudah merendahkan dirinya sendiri di depan kekasihnya itu dan dia ditolak.
Azura menghentikan langkah kakinya, kemudian mengumpat, "Bodoh."
Ketika pikirannya kalut itu, Bas mengirim pesan padanya.
Aku sudah di Arunika. Santai saja. Aku masuk jam 9.
Azura ingat. Hari ini merupakan hari pertama Bas di kantor barunya. Astaga, bahkan dia tidak memberikan selamat atau menyiapkan hadiah untuk Bas. Dan sekarang, Azura membuat Bas menunggu. Maka, Azura bergegas ke parkiran dan mengendarai motornya ke Arunika.
Dua puluh menit kemudian, Azura sampai di depan Arunika. Dia menarik napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya. Azura membuka pintu Arunika, kemudian melihat antrean di kasir ada dua orang. Di balik orang-orang itu, Tama tersenyum melayani pembeli.
Azura mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Hampir setiap meja penuh. Lalu, di meja yang biasanya mereka duduki, Bas berada di sana. Lelaki itu mengangkat tangan kanannya, tersenyum ke arah Azura.
"Maaf, terlambat," kelakar Azura begitu sampai di meja Bas.
"Duduk," kata Bas.
Azura menarik kursi kosong di depan Bas. Di atas meja sudah ada dua roti lapis yang dipesan oleh Bas. Bas memesan Primanti Sandwich. Roti lapis yang jarang keluar di Arunika. Tama pernah berkata menu itu kurang diminati, sehingga jarang keluar. Padahal, Primanti Sandwich merupakan menu roti isi 'porsi kenyang' karena selain roti yang yang disajikan Arunika pun karena ada kentang di antaranya.
Primanti Sandwich merupakan roti isi asal Pennsylvania. Sebenarnya, Primanti Sandwich merupakan signature dish dari sebuah restoran bernama Primandi Bros. Karena racikannya yang unik, banyak yang menggunakan menu sandwich tersebut. Primanti Sandwich terbuat dari dua roti tangkup, daging tipis, lelehan keju, salad kubis, kentang goreng, dan tomat.
"Aku pesan ini," kata Bas. "Jarang-jarang ada. Lagi pula, ini hari pertamaku kerja. Aku butuh banyak makan."
"Oke," sahut Azura. Perempuan itu masih menunduk. Lalu, dia melihat ke arah Bas. "Aku belum memberimu selamat," katanya. "Selamat atas pekerjaanmu. Aku ikut senang."
Bas mendekap kedua tangannya di depan dada, kemudian memiringkan kepalanya. Dia mengamati Azura. Kedua pipi perempuan itu memerah.
"Kamu kelelahan, ya? Masih nangis?" tanya Bas.
"Sudah nggak," balas Azura.
"Kita baikan, ya? Aku capek lama-lama tanpa kamu," kata Bas.
Azura menunduk, kemudian tersenyum. Lalu, Bas mendekatkan tubuhnya, meletakkan tangannya di atas meja. Tangan kanannya terbuka. Dia mengisyaratkan agar tangan Azura terulur. Maka, Azura memberikan tangannya.
Bas meremas tangan Azura, merasakan setiap sentuhan perempuan itu.
Hati Azura yang sejak tadi resah, mendadak sirna. "Bas, maafkan aku."
Bas mengangguk. Dia menepuk punggung tangan Azura. "Semua orang menghadapi kesulitannya masing-masing, Azura. Tapi, bukan berarti kita harus menyerah dan mencari jalan pintas."
Azura mengangguk. "Aku hanya lelah," katanya.
"Aku nggak bisa berbuat apa-apa untukmu, maafkan aku. Itu urusanmu dengan ibumu, aku nggak berhak ikut campur. Aku percaya kamu bisa menghadapinya. Tapi, percayalah, aku di sini. Kapanpun kamu butuh aku."
Bas mencoba meyakinkan Azura. Dia memang tidak bisa berbuat banyak untuk kekasihnya itu, tapi dia akan selalu ada untuk Azura. Kapanpun perempuan itu membutuhkannya. Bas mendukung Azura, apa pun keputusan perempuan itu.
"Bagaimana kalau kita nggak bisa sama-sama terus?" tanya Azura, ragu. "Bagaimana kalau pada akhirnya kita harus berpisah?"
"Kita akan berjuang bersama-sama. Walaupun pada akhirnya itu adalah pilihan terakhir, mari kita lakukan."
Azura menutup matanya, kemudian membukanya lagi. Azura menggigit bibir bawahnya. Hatinya terasa begitu sakit. Dia tidak ingin berpisah dengan Bas. Tapi, Bas benar.
"Kita sarapan? Aku lapar."
Azura mengangguk. Paling tidak, hari ini dia ingin menikmati sarapannya dengan Bas. Apa pun akhirnya nanti, dia ingin menghabiskan waktu bersama Bas, lelaki yang ditemuinya di Arunika.
Azura mengambil roti lapis di hadapannya, kemudian menggigitnya dengan lahap. Kedua mata Azura membeliak, ketika menikmati roti lapisnya pagi itu. Dia melihat ke arah Bas, yang ternyata juga menikmati rotinya. Keduanya tersenyum, menikmati momen saat ini.
"Omong-omong," kata Bas. "Dua roti ini gratis dari Tari. Katanya, sebagai tanda permintaan maaf."
"Permintaan maaf?"
Bas mengangkat bahu. "Hanya itu yang dia bilang, aku nggak tahu maaf atas kesalahan yang mana."
Azura menoleh ke arah Tama di kasir, lelaki itu melambai ke arah Azura sambil tersenyum. Azura membalas senyumannya. Lalu, dia berkata, "Mereka terlalu sering kasih kita roti gratis, ya?"
"Ya," jawab Bas. "Aku curiga mereka merencanakan sesuatu."
"Ya, aku juga."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Arunika [TERBIT]
General FictionAda sebuah kafe yang memilih buka di waktu usai subuh, ketika orang-orang masih mendekap selimut mereka, Tari - pemilik kafe - memilih menggiling kopi dan menyiapkan roti isi untuk sarapan. Arunika, sebuah kafe yang mempertemukan pekerja malam dan p...