"Seringkali, perasaan itu terabaikan. Menganggap waktu akan menyembuhkan. Nyatanya, perasaan itu sudah sakit dan minta disembuhkan."
Siang itu, terasa hangat alih-alih panas. Azura masih berada di bawah selimut begitu pesan dari Adrian masuk ke ponselnya. Dengan mata setengah mengantuk, Azura membaca dan membalas pesan Adrian.
Dalam pesan singkat itu, Adrian mengajak Azura bertemu. Adrian menyarankan sebelum Azura kerja atau paling mudah, Adrian akan mengantar Azura bekerja. Tapi, Azura menolak usulan itu, sebab besoknya dia pasti merepotkan Adrian dengan menjemput Azura pulang kerja. Maka, mereka berjanji bertemu di kedai kopi dekat rumah Azura.
Adrian datang dengan kemeja lengan panjang yang digulung sampai siku, dasi lelaki itu sudah longgar, beberapa bagian kemeja terlihat kusut. Uniknya, rambut Adrian tetap rapi. Ya, walaupun tidak serapi biasanya. Adrian menarik kursi di depan Azura. Dari wajahnya, terlihat jelas Adrian tidak nyaman di tempat itu.
"Maaf, aku nggak kepikiran tempat lain," ucap Azura begitu Adrian duduk. Adrian hanya mengangguk singkat. "Mau pesan apa?"
"Air putih saja," jawab Adrian.
"Mau makan?" tawar Azura.
Adrian tak langsung menjawab. Dia melihat ke arah Azura, kemudian berkata, "Boleh."
Azura menarik sudut-sudut bibirnya, kemudian menyerahkan buku menu pada Adrian. Lelaki itu segera mendorong buku menu itu. "Kamu saja yang pilihkan," ucap Adrian.
"Oke."
Keduanya bertemu ketika sore mulai menyapa. Di luar cahaya terlihat oranye menghiasi langit. Dari sisi Azura duduk, dia bisa melihat Adrian terkena pantulan cahaya sore yang menyelinap dari jendela kaca. Azura menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya. Dia kembali berpikir, apa yang membuat Azura jatuh cinta pada Adrian pada awalnya? Perkenalan pertama mereka? Atau hati Azura terpaut karena permintaan ayahnya? Dia sama sekali tidak tahu. Hubungan keduanya berjalan begitu saja, sampai akhirnya berjalan sejauh ini.
Awalnya, semua baik-baik saja, lalu kepergian ayahnya mengubah segalanya.
Mungkin, mereka memang sekadar terikat janji. Klise. Tapi, sangat kuat.
"Malam itu kamu ke mana?" tanya Adrian. Dia mengingat malam pesta ulang tahunnya. Azura menghilang dan sulit dihubungi. Lalu, tiba-tiba saja dia muncul bersama Bas, pegawai di kantornya. Tapi, Adrian sama sekali tidak membahasnya.
Azura menengadahkan kepalanya, melihat ke arah Adrian. Lelaki itu melakukan hal yang sama. Azura tahu, Adrian menyadari dia menghilang. Azura juga tahu, dia tidak bisa berbohong pada Adrian.
"Pergi keliling Bandung sebentar, mencari udara segar," jawab Azura.
"Di hari ulang tahunku? Dengan lelaki lain?" tandas Adrian. "Damn it, Azura. Dia bawahanku!"
Azura mencoba untuk tenang. Dia tidak tahu Adrian akan melihatnya turun dari motor Bas malam itu. Sejujurnya, Adrian tahu atau tidak, dia tidak peduli. Azura tidak melakukan kesalahan apa-apa. Dia dan Bas tidak memiliki hubungan apa pun. Malam itu, dia hanya melakukan hal secara impulsif saja.
"Kamu tahu. Kamu kenal dia. Dia bukan lelaki lain. Dia bawahanmu," ucap Azura. "Aku yang meminta Bas untuk membawaku keliling Bandung. Hanya sebentar, tidak sampai dua puluh menit, Rian."
"Di mana kamu kenal Bas?" tanya Adrian lagi.
"Arunika," jawab Azura. "Malam itu aku baru tahu dia bekerja padamu."
"Sebenarnya, ada apa denganmu, Zura?" tanya Adrian pelan. Adrian menarik tangan Azura, memegangnya dengan erat. "Kamu punya masalah? Kenapa nggak cerita?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Arunika [TERBIT]
General FictionAda sebuah kafe yang memilih buka di waktu usai subuh, ketika orang-orang masih mendekap selimut mereka, Tari - pemilik kafe - memilih menggiling kopi dan menyiapkan roti isi untuk sarapan. Arunika, sebuah kafe yang mempertemukan pekerja malam dan p...