BAB 9: Sesuatu yang Kau Sebut Cinta

947 242 12
                                    


"Cinta tak hanya mengenai bahagia, pun bosan dan gemuruh ragu. Tapi, kau akan tetap bertahan dengan alasan itu."


Bas mengemasi barang-barangnya. Barang-barang di sini adalah sebuah laptop dan tetikus. Lalu, dia mengambil ponsel dari atas meja dan memasukkan ke dalam tas. Sebelum Bas meninggalkan meja kerjanya, Ndari muncul.

"Bas," panggil Ndari.

Hari ini Ndari mengenakan wide jeans, dengan kaus berwarna putih dan kardigan hijau muda. Ndari mengikat rambutnya berbentuk cepol dengan anak rambut memenuhi leher dan sisi wajah perempuan itu. Sejenak, Ndari terlihat menarik dan segar di mata Bas. Ah, tidak. Sejak awal, Ndari perempuan yang menarik, Bas mengakui hal itu. Tapi, penampilan Ndari tidak membuat dada Bas penuh. Visual Ndari hanya sampai pada mata Bas saja, tidak sampai pada hatinya. Sayang sekali.

"Yap?" sahut Bas.

"Sudah menentukan mau bawa kado apa?" tanya Ndari. "Aku belum cari, nih." Yang dibicarakan Ndari adalah mengenai perayaan ulang tahun atasan mereka. Pesta tersebut akan diadakan tiga hari lagi dan Ndari belum menentukan hadiah ulang tahun apa yang pas untuk atasannya itu.

"Bukannya sudah dikoordinasi dengan anak-anak?" tanya Bas balik. Mereka sudah berencana untuk membelikan sebuah barang dengan patungan bersama karyawan yang lain.

Bas memakai tas ranselnya. Dia hendak pulang. Di luar matahari sudah benar-benar tenggelam. Perutnya juga sudah sangat lapar. Dilihatnya, Ndari juga sudah bersiap untuk pulang.

"Iya, sih, tapi aku ingin beli sesuatu," jawab Ndari. "Kamu bisa antar aku nyari kado?" tanyanya. Dilihatnya, Bas tidak langsung menjawab. Ndari memiringkan wajahnya, kemudian berkata, "Bisa, ya, Bas?"

Bas mendesah, kemudian mengangguk. Wajah Ndari berubah cerah. Untuk beberapa hari ini Bas terlihat murung. Dia tidak secerah seperti biasa. Tempo hari, Ndari bertanya mengenai keadaan Bas dan bagaimana kencannya dengan perempuan yang sedang ditaksir oleh Bas. Bas hanya berkata bahwa acara jalan-jalannya berjalan lancar, tetapi dia sudah selesai dengan perempuan itu.

"Ya, walaupun memang kami belum sempat memulai. Tapi, sekarang sudah selesai." Begitu jawaban Bas.

Ketika Azura berkata bahwa dia memiliki kekasih, bagi Bas hubungan mereka sudah selesai. Dia tidak bisa berteman dengan Azura karena jelas-jelas dia tertarik dengan perempuan itu. Maka, Bas memilih untuk tidak ke Arunika sementara waktu atau mungkin, selamanya dia tidak akan ke Arunika, sampai perasaannya kepada Azura menghilang.

Ya, lebih baik seperti itu.

***

Ndari mengajak Bas ke sebuah mal di Bandung. Mal itu berada di bilangan Pamoyanan. Sedari tadi, Ndari menceritakan mengenai bos mereka di agensi tempat Bas dan Ndari bekerja. Dia tak henti-hentinya berkata bahwa bos mereka itu tipe laki-laki yang berkelas, disiplin, dan idealis. Tapi, Ndari berutang budi pada atasan mereka itu. Itulah alasan Ndari ingin mencari kado khusus.

"Mengenai Arunika," ucap Ndari ketika mereka berjalan menyusuri mal. Bas memang pernah bercerita mengenai Arunika. Hal itu membuat Ndari penasaran. "Mereka hanya buka di pagi hari?"

Bas mengangguk.

"Aku ingin coba ke sana," kata Ndari. "Kamu kapan ke sana lagi?"

"Untuk sementara waktu, aku nggak ke sana dulu."

"Kenapa?"

"Nggak kenapa-kenapa," sahut Bas. "Sudah memutuskan mau beli apa?" tanya Bas. Dia melihat ke arah Ndari dengan mengangkat kedua alisnya. Seperti laki-laki pada umumnya, kegiatan berbelanja bukanlah hobi Bas.

Ndari mendesah. Dia mengangguk dan berjalan mendahului Bas. Dia tidak mengerti, kenapa Ndari begitu terobsesi dengan Bas. Tentu, dia tahu Bas tidak tertarik kepadanya, walaupun Bas tidak dimiliki oleh siapapun. Hanya saja, penolakan-penolakan Bas itu, membuat Ndari sedikit kesal. Lucunya, bukannya menyerah, Ndari terus mendekat.

Pada akhirnya, Ndari sudah menemukan kado yang tepat untuk atasannya itu. Sebuah jam tangan. Sebenarnya, Ndari hanya asal memilih jam tangan itu, sebab sejak awal kepergiannya mencari kado adalah alasan agar bisa menghabiskan waktu bersama Bas.

Usai membeli kado untuk atasannya, Ndari mengajak Bas mencari makan malam. Akhirnya, mereka memilih makan nasi goreng warung kaki lima tidak jauh dari pusat perbelanjaan.

"Omong-omong, Bas. Kenapa kamu nggak ke Arunika?" tanya Ndari di sela-sela suapan nasinya. Di depannya, Bas masih sibuk makan. Ndari menunggu jawaban dari laki-laki itu.

"Sedang nggak ingin," jawab Bas acuh tak acuh. Lelaki itu melanjutkan makan malamnya. Lalu, Bas melihat ke arah Ndari. "Kamu nggak perlu ke Arunika pagi-pagi. Aku bisa bawakan kalau kamu mau."

Ndari menghentikan kegiatan menyendok nasi gorengnya. Dia tersenyum. "Aku mau."

"Nanti, ya, kalau aku nggak malas ke sana."

Bahu Ndari melorot. Dia seakan diberi harapan, lalu dijatuhkan detik itu juga. Tapi, Ndari bukan tipe perempuan yang mudah menyerah. Dia tidak semudah itu menyerah. Entah sejak kapan, ambisinya akan sesuatu hal itu memenuhi kehidupannya.

"Baiklah. Aku tunggu."

***

Tiga hari kemudian, Bas datang ke pesta ulang tahun atasannya. Di sampingnya, Ndari sudah berdiri dengan gaun terusan berwarna merah muda. Rambut gadis itu digerai sampai bahu, bibirnya dipoles gincu berwarna senada dengan gaun yang dikenakannya.

Pesta ini bertema garden party dengan dekorasi minimalis. Pada tengah-tengah lahan terdapat meja memanjang berisikan makanan yang boleh diambil kapan saja. Pada sisi lain terdapat panggung kecil, yang saat ini diisi oleh band indie yang sama sekali tidak dikenal oleh Bas.

Teman-teman Bas lain menyebar ke seluruh area, ada yang sedang mencicipi makanan, ada yang sedang mengobrol, ada pula hanya duduk di kursi yang sudah disediakan. Bas bertanya-tanya, kenapa atasannya itu mengadakan pesta ulang tahun untuk ukuran laki-laki berusia 31 tahun. Kalau bercermin, dirinya tidak akan mau mengadakan pesta seperti ini. Mungkin, sekadar mentraktir teman sekantor saja. Bas menduga, ada hal yang ingin disampaikan atasannya itu. Sesuatu yang bukan sekadar pesta ulang tahun.

"Dengar-dengar, dia mau mengabarkan mengenai tunangannya," kata Ndari secara tiba-tiba di sebelah Bas. Ndari sedang memperhatikan atasannya yang sedang mengobrol dengan seseorang di sisi panggung.

"Siapa?"

"Bos kita, Bas. Siapa lagi?"

"Oh," sahut Bas. Wajar saja jika memang itu terjadi, sebab pesta ini tidak terlihat seperti pesta ulang tahun.

Sekarang, penyanyi indie tadi bergeser dan menyerahkan microphone pada atasan Bas. Lalu, lelaki yang mengenakan jas dan model rambut yang selalu rapi itu memulai pidatonya.

"Hem, tes-tes," lelaki itu tertawa kecil. "Teman-teman, ehm, terima kasih sudah datang ke pesta ulang tahun saya. Ehm, lucu rasanya usia sudah kepala tiga merayakan ulang tahun seperti ini," lalu dia terkekeh, disusul tepuk tangan audience. "Ehm, tampaknya kalian juga sudah menyadari sesuatu bahwa ini bukan sekadar pesta ulang tahun. Jadi, saya ingin mengenalkan seseorang secara resmi pada kalian."

"Seperti dugaanku, 'kan?" ucap Ndari pada Bas. Bas mengangguk. Lalu, Ndari melanjutkan, "Kamu belum pernah bertemu pacar Pak Rian, ya, Bas?"

"Hem?"

"Pacar Pak Rian. Mbak Azura," lanjut Ndari. Bas menoleh ke arah Ndari, begitu juga dengan perempuan itu. Ndari mengarahkan pandangannya ke arah panggung. Di sana atasannya itu memanggil nama seorang perempuan. Perempuan itu berjalan perlahan ke atas panggung. "Itu Mbak Azura." Ketika Ndari berkata begitu, Bas melihat ke arah panggung.

Dada Bas berdebar. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya. Perempuan yang disebut kekasih dari atasannya itu adalah Azura. Benar. Azura yang ditemui Bas di Arunika. Dia adalah Azura, perempuan yang akhir-akhir ini membuat Bas seperti orang gila. Seperti tahu sedang dibicarakan, Azura melihat ke arah Bas dan Ndari. Lalu, kedua mata mereka bertemu.

Pada titik itu, senyum Azura sirna.

***

Arunika [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang