Azura datang lebih dulu ke Arunika. Bas mengabari akan sampai di kedai itu pukul enam pagi, sedangkan sekarang baru jam lima pagi. Perempuan itu mendesah. Semestinya, dia tadi di kantor dulu, alih-alih memilih datang ke Arunika lebih awal. Namun, penyesalan itu hilang begitu Tari menyapanya dengan ceria.
"Azura!" seru Tari, begitu Azura membuka pintu Arunika. Pagi itu, Tari terlihat ceria seperti biasa - tidak sedang menangis seperti beberapa hari lalu. Keadaan Arunika pun cukup ramai dengan pengunjung lima sampai enam orang yang duduk di beberapa meja, kemudian ada tiga orang mangantre di kasir.
"Selamat pagi," balas Tari.
"Hay, Azura!" di balik kasir Tama melambaikan tangan. Tak jauh berbeda dengan Tari, Tama juga terlihat ceria.
Azura tersenyum untuk membalas Tama. "Aku pesan nanti, ya. Nunggu Bas."
Tama mengangguk dan mengacungkan ibu jarinya ke arah Azura.
Perempuan itu mencari meja kosong. Meja yang biasanya dia tempati dengan Bas sedang diisi oleh seorang perempuan dengan laptopnya. Perempuan itu menautkan kedua alisnya terlihat frustrasi.
Tak lama Azura duduk, pintu Arunika terbuka. Dia langsung melihat ke arah pintu, berharap itu adalah Bas. Namun, alih-alih Bas, yang muncul justru Adrian. Tentu saja, Azura terkejut dengan kedatangan laki-laki itu.
Terdengar suara Tama menyambut Adrian, kemudian Adrian berjalan ke arah Azura, menarik kursi kosong di seberang perempuan itu dan duduk.
"Selamat pagi," sapa Adrian. Lelaki itu mengenakan kaus berwarna putih, celana olahraga dan sepatu olahraga berwarna putih. Dilihat dari sisi manapun, Adrian lelaki yang menarik.
Terkadang, ketika sudah mengakhiri hubungan dengan seseorang, kita akan menemukan alasan-alasan kenapa dulu kita pernah mencintainya.
"Kenapa di sini?" tanya Azura.
"Mau sarapan," balas Adrian.
Azura menutup matanya, kemudian membukanya lagi.
"Aku sudah bilang ke Bunda," kata Adrian. "Aku memohon padanya, untuk merestui kita." Dia terus berbicara, tanpa mempedulikan Azura yang mengerutkan keningnya.
"Adrian, hubungan kita sudah selesai," tukas Azura.
Adrian menggeleng, mencondongkan tubuhnya. "Kamu boleh berpacaran dengan Bas. Terserah. Tapi, kita akan tetap menikah. Nggak ada yang berubah."
"Gila."
"Ya, aku tahu."
"Kalau kamu tahu itu, kenapa kamu seperti ini? Aku nggak ngerti. Kenapa setelah selama ini, kamu berjuang sekeras ini?"
"Sudah kubilang, kan, aku menyesal?" Azura tidak bisa berkata-kata lagi. Dia memilih untuk diam. "Azura, bunda sudah setuju dan membiarkan kita menikah. Kamu juga belum bisa jujur sama ibumu, 'kan?"
"Pergilah, Adrian. Bas akan datang."
"Oke. Aku hanya ingin bilang itu saja. Aku akan menunggu," katanya. Lalu, dia memundurkan kursinya, kemudian berjalan ke arah pintu.
Tepat ketika dia hampir mencapai pintu, Bas muncul.
***
Baik Bas maupun Adrian hanya saling melihat saja, kemudian Bas berjalan ke arah Azura. Kedua matanya melihat ke arah Azura dengan tatapan tidak senang. Dia menarik kursi yang diduduki Adrian tadi dan duduk di sana.
"Kenapa dia menemuimu lagi?" tanya Bas. Untuk pertama kalinya, suara Bas berbeda. Dia terdengar tidak senang.
"Dia mendadak ke sini," jawab Azura. "Maaf."
KAMU SEDANG MEMBACA
Arunika [TERBIT]
Fiction généraleAda sebuah kafe yang memilih buka di waktu usai subuh, ketika orang-orang masih mendekap selimut mereka, Tari - pemilik kafe - memilih menggiling kopi dan menyiapkan roti isi untuk sarapan. Arunika, sebuah kafe yang mempertemukan pekerja malam dan p...