Sekeras apa pun kita berusaha untuk menjadi sempurna, akhirnya tak akan ada yang bisa mencegah Tuhan untuk memberi kita cela
Bersama kemunculan kabut tipis pagi itu, Azura berdiri di depan pintu kaca Arunika. Di depan pintu itu tertulis "Tutup". Azura mengerutkan keningnya, melihat jam di layar ponsel. Pukul enam pagi. Semestinya, Arunika sudah buka. Bahkan, di media sosial Arunika, Tama sudah memberikan informasi menu. Apakah mereka lupa membalikkan tulisan "Tutup" ke "Buka"?
Azura mundur, melihat keadaan Arunika lagi. Tirai putih di sisi jendela juga belum terangkat, tapi lampu di dalam Arunika menyala dan dia mendengar seseorang di sana. Azura kembali mendekatkan diri ke pintu Arunika dan mengintip ke dalam. Kedua matanya melihat keadaan, kemudian dia melihat Tari duduk sendirian di salah satu kursi dengan bahu naik turun. Dia sedang ... menangis?
Ketika Azura mengintip itu, Tari terlihat menyeka air matanya, kemudian melihat ke arah Azura. Ketahuan mengintip, Azura tersenyum canggung. Dia merasa tidak enak dengan Tari. Tapi, Tari justru tersenyum, melambaikan tangan, kemudian bergegas ke arah pintu dan membukanya.
"Hai," sapa Azura dengan canggung. "Masih belum buka, ya?"
"Hai," balas Tari. "Masuk saja."
"Nggak apa-apa?"
Tari mengangguk.
Azura mengikuti Tari, kemudian Tari kembali duduk di kursinya tadi. Dia meminta Azura duduk di kursi yang sama.
"Maaf, ya. Lagi ada sedikit masalah. Aku sengaja menutup Arunika. Tama sedang keluar," Tari menarik napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya, "entah ke mana." Lanjutnya.
Azura semakin tidak mengerti.
"Kamu tahu, setiap hubungan pasti memiliki cela," ungkap Tari. "Dan Tama, dia selalu begitu. Setiap kali ada pertengkaran, dia akan pergi. Tapi, nggak lama, kok. Sebentar lagi juga kembali."
Azura tidak tahu harus merespon apa. Dia memilih mendengarkan. Mungkin, itu satu-satunya hal yang Tari butuhkan.
"Ah, maaf. Jadi curhat. Mau pesan apa?" tanyanya.
"Ah, apa kamu baik-baik saja?"
"Tentu nggak," sahut Tari jujur.
"Ah."
"Tapi, nggak masalah sekadar untuk membuat roti."
"Okay."
Tari tersenyum, kemudian mendorong kursinya dan berkata, "Tunggulah di sini." Dia berjalan beberapa langkah, kemudian kembali ke sisi Azura. "Kamu mau bikin roti panggang?"
"Hah?"
"Ayo, sepertinya menyenangkan bikin roti panggang bersama."
***
Tari membawa Azura ke dapur Arunika.
Dapur Arunika berada di ruang sebelah, tepat di belakang kasir. Ada jendela kecil yang menghubungkan dengan ruang pertama untuk mempermudah komunikasi Tari dan Tama. Selama ini, roti tangkup Arunika dimasak oleh Tari yang merupakan cucu penerus Arunika.
"Tama juga bisa bikin, tapi ada hal-hal kecil yang terkadang luput dia kerjakan," cerita Tari. "Misalnya, dia memakai mentega biasa, sedangkan aku sudah menyiapkan mentega dengan bawang putih."
Arunika bukan restoran besar. Dapurnya pun tidak begitu luas. Ada dua tungku dengan dua penggorengan datar berbentuk persegi panjang. Lemari es dua pintu berwarna silver, di sebelahnya lagi ada lemari besi tempat Arunika menyimpan roti.
"Kami memesan roti khusus dan setiap hari selalu baru. Makanya, kami cuma buka beberapa jam saja. Nggak banyak stok."
Tari terus bercerita pada Azura. "Kamu mau apa?" tanyanya. "Hari ini kami berencana menjual cheese steak sandwich. Kamu tahu, roti itu paling laris setelah american sub."
KAMU SEDANG MEMBACA
Arunika [TERBIT]
General FictionAda sebuah kafe yang memilih buka di waktu usai subuh, ketika orang-orang masih mendekap selimut mereka, Tari - pemilik kafe - memilih menggiling kopi dan menyiapkan roti isi untuk sarapan. Arunika, sebuah kafe yang mempertemukan pekerja malam dan p...