BAB 8: Sesuatu yang Tidak Bisa Kita Cegah

942 244 4
                                    


"Sebab, Tuhan memiliki hak prerogatif atas seluruh kehidupan di alam semesta. Kita hanya sebagian kecil dari rencana-Nya"

            Bas mengantar Azura sampai di sisi jalan masuk ke rumah perempuan itu. Setelah pengakuan Azura di Lembang, Bas tidak banyak berkomentar. Dia hanya menarik kedua sudut bibirnya, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Lalu, Bas berkata. "Pulang, yuk."

            Setelah mengajak Azura pulang, Bas memutar tubuh dan berjalan di depan Azura. Perempuan itu mengikuti Bas tanpa berkata apa pun. Dia tidak menyesal mengatakan yang sebenarnya pada Bas - tidak peduli bagaimana tanggapan Bas mengenai pengakuannya. Azura sudah menyiapkan diri akan hal apa pun yang dikatakan Bas. Namun, lelaki itu hanya tersenyum.

           Bas melepaskan jaketnya dan melemparkannya ke atas ranjang. Dia mengambil handuk, lalu berjalan ke kamar mandi. Lelaki itu menanggalkan pakaiannya dan mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Setelah di dalam kamar mandi sekitar tiga puluh menit, Bas melilit tubuh bagian bawahnya dengan handuk dan keluar kamar mandi.

          Dia berjalan ke arah meja tidak jauh dari ranjang, menyentuh ponselnya, mengecek pesan. Ada pesan masuk dari Ndari, pesan di grup agensi. Bas meletakan kembali benda itu ke atas meja. Dia mendesah. Kotak masuk perpesanannya, tidak ada nama Azura.

            Bas tahu maksud dari Azura berkata jujur kepadanya. Mereka sudah sama-sama dewasa untuk memahami itu. Tanpa Azura menjelaskan lebih lanjut, dia mengerti kenapa. Azura ingin membangun batas di antara Azura dan dirinya. Alasannya jelas, Azura memiliki kekasih. Sebelum hubungan mereka terlalu jauh berjalan, Azura menarik diri. Memberikan garis batas yang tak boleh dilalui oleh keduanya.

          Bas tahu. Baik Azura dan dirinya, sama-sama tertarik. Tapi, mereka harus mengakhiri ketertarikan itu. Maka, Azura melakukannya terlebih dahulu. Sebab, dia adalah orang yang tak bisa melewati batas itu.

          Pada saat seperti ini, Bas ingin makan roti lapis Arunika. Sayangnya, pada jam seperti sekarang, kafe itu tutup.

         Sial.

***

         Adrian memakaikan blazernya ke tubuh Azura. Perempuan itu mendongak, tersenyum, dan berkata terima kasih pada Adrian. Keduanya sedang duduk berdua di sebuah restoran di ruangan terbuka. Beberapa dedaunan gugur menyentuh rumput di sekitar meja mereka. Meja mereka berada di tengah-tengah taman, dengan kanopi payung di atasnya.

          Bukan tanpa alasan Adrian melakukan itu. Dari jauh, Adrian melihat Azura menyentuh lengannya. Perempuan itu memakai gaun berwarna sage green tanpa lengan. Udara malam itu sedang dingin-dinginnya. Dengan percaya diri Azura mengenakan gaun tanpa lengan, sebab dia sudah terbiasa bekerja di malam hari. Nyatanya, tubuhnya tak cukup kuat menahan dingin. Ironisnya, dia tidak membawa jaket.

          Adrian menarik kursi di seberang meja. Dia menggulung lengan kemejanya sampai siku. Sejauh Azura mengenal Adrian, lelaki itu selalu terlihat rapi. Rambutnya tak pernah berantakan seperti seorang anak kecil. Rambutnya selalu rapi dengan minyak rambut. Adrian memiliki wajah oval dengan gaya rambut side parted short. Tak hanya itu yang membuat Azura tertarik pertama kali mengenal Adrian. Lelaki itu memiliki rahang yang tegas, hidung mancung, dan bibir tipis. Bagi Azura, Adrian adalah laki-laki yang hangat dan pekerja keras.

          Saat teman-teman Azura tahu mengenai hubungannya dengan Adrian, mereka berkata bahwa Azura sangat beruntung mendapatkan laki-laki seperti Adrian. Awalnya, Azura berpikir hal yang sama dengan teman-temannya itu. Tapi, semakin jauh hubungannya dengan Adrian berjalan, Azura mulai berpikir bahwa dia tidak memiliki andil dalam kehidupan laki-laki itu.

           "Lain kali jangan ke sini lagi," ucap Adrian. Dia mengambil tisu dari atas meja, kemudian mengelap tangannya yang tidak basah. Azura mengangkat kedua alisnya, sebagai tanda bahwa dia tidak mengerti kenapa Adrian berkata seperti itu.

           "Kenapa?" tanya Azura. Restoran ini Azura yang memilihnya. Dia sudah dua kali ke sini bersama ibunya, sebab ibunya suka makanan di sini. Bahkan, Azura berniat untuk mengajak ibunya ke restoran ini lagi. Menurut Azura, tidak ada masalah dengan restoran ini. Harga makanannya terjangkau, rasanya pun enak.

          "Kamar mandinya kotor," jawab Adrian.

           "Oh," komentar Azura. Dia tidak pernah berpikir mengenai hal itu akan mempengaruhi kualitas restoran ini. Sekotor apa kamar mandi yang diceritakan oleh Adrian, Azura pun tidak tahu. Azura lihat, toilet di restoran ini cukup bersih, tidak ada hal yang membuat Azura jijik sampai-sampai harus memasukkan daftar hitam restoran ini ke kamusnya.

           Dalam beberapa hal, Azura dan Adrian memiliki perbedaan yang cukup mengganggu. Di awal hubungan, keduanya tidak mempermasalahkan itu. Seringnya, Azura memilih mengalah mengenai hal-hal sepele semacam ini. Namun, terkadang dia juga merasa lelah karena harus mengalah demi kelangsungan hubungan mereka.

          "Tapi, makanannya enak, 'kan?" tanya Azura dengan ceria. Adrian mengangguk.

           "Lumayan."

           "Sepertinya, aku harus mengajakmu ke Arunika," cetus Azura. Dia mencoba untuk memberikan tempat makan lain. Azura yakin, Adrian juga akan menyukai Arunika. "Kamu pasti suka makanan di Arunika." Azura bercerita dengan wajah ceria. Dia sering membicarakan Arunika dengan Adrian. Tapi, sampai saat ini Adrian belum bisa ke sana.

           "Aku penasaran dengan Arunika. Tapi, kamu tahu, aku nggak ada waktu untuk ke sana. Sepagi itu. Astaga."

           Azura tertawa kecil. "Kamu benar. Kamu orang sibuk." Azura memahami perkataan Adrian, sebab rumah Adrian jauh dari Arunika dan bagi Adrian sekadar untuk makan roti itu membuang-buang waktu.

          "Omong-omong, Sayang," ucap Adrian lagi.

          "Iya?"

           "Minggu depan ada acara makan malam keluarga besar. Kamu bisa datang, 'kan?"

           Azura baru saja ingin menyendok makanannya, tetapi dia urungkan. Dia menelan ludah mendengar pertanyaan Adrian barusan. Memang, beberapa hari lalu saat Adrian kembali ke Bandung setelah tiga hari di Bali, berkata bahwa akan ada acara makan malam keluarga. Hanya saja, Azura tidak tahu bahwa dia akan diundang.

           "Aku ingin kamu lebih dekat dengan keluarga besarku," lanjut Adrian. "Aku sudah bilang, kan, orang tuaku juga ingin bertemu denganmu?" Adrian mengulurkan tangannya ke arah Azura. Perempuan itu ragu, lalu mengulurkan tangannya dan kedua tangan itu saling bertautan.

            "Apa keluargamu akan menerimaku?" tanya Azura. Dia berterus terang mengenai kecemasannya selama ini. Tidak pernah sekalipun Azura memendam kecemasannya itu pada Adrian. Dia sudah mengatakan hal serupa berkali-kali dan Adrian pun menjawab dengan hal yang sama.

             "Kamu nggak perlu cemas mengenai hal itu, Sayang. Semua akan baik-baik saja. Percaya sama aku, ya."

              Awalnya, Azura percaya dengan ucapan Adrian. Tapi, sekarang kecemasannya semakin tinggi. Dia merasa hubungannya dengan Adrian tidak akan bertahan lama. Hubungan ini sudah terlalu hambar.

            Ada banyak hal yang tidak bisa manusia cegah. Pertemuan tanpa disengaja. Ketertarikan. Bahkan, perasaan yang perlahan mengabur bersama waktu. Azura takut. Sekuat apa pun dia mencegah dan mempertahankan hubungannya dengan Adrian, Tuhan akan membuat mereka berpisah.

***

Arunika [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang