BAB 27: Perasaan yang Ambigu

860 175 5
                                    


Hari ini, Arunika tutup.

Arunika hampir tidak pernah tutup. Bahkan, mereka tidak memiliki jam istirahat yang tetap. Tama dan Tari menutup Arunika sewaktu-waktu; ketika mereka malas membuka kedai atau ketika bahan yang ingin mereka jual tidak tersedia. Tari hanya menyajikan bahan baku berkualitas, sehingga tidak ada yang bisa menggantikan bahan baku yang biasa Arunika gunakan. Maka, Tari memilih menutup kedai daripada menjual roti isi dengan rasa yang berbeda.

Menjaga cita rasa makanan di Arunika merupakan hal mutlak.

"Kau memang hanya bersenang-senang di Arunika," begitu komentar Tama, setiap kali Tari minta kedai tutup hari itu.

Memangnya, di mana ada pengusaha yang buka kedai sepagi itu, lalu di jam makan siang justru tutup? Lalu, mereka tiba-tiba tutup hanya karena malas membuka kedai?

Hanya ada di Arunika.

"Aku sudah punya kau untuk memenuhi kebutuhan hidupku," balas Tari.

Tama duduk di meja kerjanya, menyembunyikan jendela kerjanya, lalu melakukan pergerakan ringan. Lalu, dia mengecek pemberitahuan di Arunika.

Di akun instagram Arunika itu, banyak komentar yang bertengger di unggahan terakhir. Unggahan itu berupa pengumuman bahwa Arunika tutup hari ini.

"Banyak yang memprotes mengenai tutupnya Arunika," begitu kata Tama.

Tari sedang merebahkan diri di atas ranjang sambil bermain ponselnya menyahut, "Mereka selalu begitu. Biarkan saja."

"Apa kamu pernah berpikir untuk mengubah jam buka Arunika?" tanya Tama.

"Sama sekali nggak," sahut Tari. "Arunika akan tetap seperti itu, sampai nanti. Sampai kapanpun." Jelasnya dengan santai. Lalu, Tari berjalan ke arah Tama. "Kenapa berpikir seperti itu? Ada masalah dengan pekerjaan?"

Tama menggeleng. "Nggak ada. Hanya saja, pelanggan kita banyak yang meminta begitu. Kata mereka, minimal sore sampai malam juga buka."

Tari tak langsung menjawab. Sejak Arunika dibangun, kafe tersebut beroperasi mulai dari usai subuh hingga menjelang siang. Tidak ada yang berubah dengan Arunika. Pelanggan Arunika mulai dari remaja hingga dewasa dan mereka tahu kapan jam buka dan tutup Arunika, serta kebiasaan-kebiasaan pemiliknya alias Tari.

"Apa sudah saatnya kita mengikuti zaman?" tanya Tama lagi. Lagi-lagi, Tari tidak menjawab.

Tari menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Arunika akan tetap seperti sekarang. Aku sudah puas dengan itu. Kamu tahu, aku mempertahankan Arunika karena ini usaha keluarga."

Tama mengangguk. Berbicara mengenai usaha keluarga, Tama kembali mengingat mengenai anak. Mereka tahu, suatu saat Arunika harus diserahkan pada seseorang. Lebih tepatnya, ada yang harus meneruskan Arunika. Manusia memiliki batas waktu, begitu pula dengan Tama dan Tari.

Namun, keduanya tidak pernah lagi membahas mengenai anak. Sebab, mereka tahu, mereka tidak bisa memaksakan hal itu.

"Sayang," panggil Tari.

"Ya?"

"Apa kamu pernah berpikir, kita mengadopsi anak saja?"

"Sini," kata Tama. Dia menarik Tari dan meminta dia duduk di pangkuannya. "Aku pernah berpikir begitu. Tapi, keputusan untuk itu, harus disetujui kedua belah pihak."

"Kamu mau lebih bersabar lagi untuk itu?"

"Tentu," sahut Tama. "Aku menikahimu bukan bertujuan untuk memiliki keturunan."

"Benar?"

Tama mengangguk.

Tari menurunkan tubuhnya dari pangkuan Tama. Lalu, dia berkata, "Lalu, bagaimana dengan Arunika, ya, kalau kita belum punya anak?"

Arunika [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang