Bas membuka pintu Arunika, ketika jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Di dalam pengunjung sudah ramai, hingga semua kursi penuh. Bas mengangkat alisnya melihat keadaan Arunika pagi itu. Kalau dipikir-pikir, hari ini bukan hari sabtu. Hari ini, hari biasa. Hari pekerja dan Bas sudah menganggur.
Pintu Arunika berdenting begitu Bas membuka pintu tersebut. Tama di belakang kasir langsung tersenyum dan melambai ke arah Bas, kemudian dia kembali sibuk melayani pelanggan. Tari baru saja keluar dari dapur, melambai ke arah Bas.
"Kamu benar-benar pengangguran sekarang?" tanya Tama ketika Arunika sudah sepi. Hanya ada dua remaja di sudut ruangan sedang mengobrol. Tari keluar membawa pesanan kedua Bas.
"Ya," sahut Bas. "Terima kasih, Tari," katanya sambil mengambil roti lapis itu.
"Ya, sama-sama," jawab Tari. "Katakan kalau kau butuh makanan lain." Setelah berkata demikian, Tari kembali ke dapur.
"Kulihat Arunika nggak punya pegawai," kata Bas di sela-sela kunyahnya. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Kau bisa mempekerjakanku?" candanya.
"Nggak," sahut Tama. "Arunika masih bisa kami handle sendiri."
"Ya, kali saja," sahut Bas.
"Kau sudah coba melamar kerja?" tanya Tama lagi.
Bas mengangguk. "Azura memberiku banyak daftar lowongan pekerjaan. Aku pilih beberapa dan mengirimkan lamaran lewat surel."
Tama mengangguk.
"Kau tahu rasanya menjadi pengangguran dan memiliki kekasih?" tanya Bas. Tama menggeleng. "Seperti beban hidup."
Tama tertawa.
"Aku jadi menyesal resign," katanya. Dia melirik roti lapis di hadapannya. "Dan sekarang aku menghamburkan uang untuk makan roti lapis."
"Tenang saja, kau cukup bayar satu porsi."
"Terima kasih." Bas mendesah. "Aku akan bayar penuh."
Tama mengangkat kedua alisnya. "Serius?"
"Ya," jawab Bas mantap. "Aku masih ada tabungan."
Keduanya berhenti berbincang ketika mendengar deringan telepon dari ponsel Bas. Bas mengintip layar ponsel, kemudian mengangkat sedikit benda itu sambil melihat ke arah Tama. Tama mengangguk, lalu Bas menerima panggilan telepon itu.
Itu adalah telepon dari salah satu perusahaan yang dilamar Bas.
***
Hal terberat untuk dihadapi Azura adalah ibunya.
Selama ini, ibunya berpikir Azura masih bersama Adrian. Dia berkali-kali mendapat pertanyaan kapan Adrian akan melamarnya, kemudian mereka akan menikah. Bahkan, ibunya berkali-kali meminta Azura untuk berkata pada Adrian untuk datang ke rumah. Tentu, Azura menyimpan rapat-rapat hubungannya dengan Bas. Yang diketahui ibunya, dia masih bersama Adrian.
Setiap kali ibunya membahas mengenai Adrian, dada Azura berdebar. Dia mulai khawatir dengan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari bibir ibunya. Perempuan yang berusia menjelang enam puluh tahun itu sudah terlihat begitu lelah. Setiap hari menjual karedok tanpa putus asa. Ironisnya, karedok bukanlah makanan kesukaan ibunya. Ibunya sudah terbiasa dengan lumpia, alih-alih karedok.
Namun, karena cintanya pada suaminya ibunya itu datang ke Bandung dengan bahasa jawanya yang kental. Membiasakan hidup dengan keluarga yang cukup terpandang, akan tetapi kebahagiaannya tidak bertahan lama.
Kedua orang tua Azura jatuh bangun, sampai akhirnya mereka kehilangan kepala keluarga dan tinggal di gang sempit.
"Kenapa Adrian nggak pernah datang lagi?" tanya ibunya. Keduanya duduk di meja makan berukuran tujuh puluh sentimeter kali tujuh puluh sentimeter.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arunika [TERBIT]
General FictionAda sebuah kafe yang memilih buka di waktu usai subuh, ketika orang-orang masih mendekap selimut mereka, Tari - pemilik kafe - memilih menggiling kopi dan menyiapkan roti isi untuk sarapan. Arunika, sebuah kafe yang mempertemukan pekerja malam dan p...