Ardrian menikmati roti tangkup Arunika dengan lahap. Di wajahnya tidak ada ekspresi meremehkan seperti yang sering Azura lihat ketika Adrian makan rekomendasi dari Azura. Kali ini, Adrian menikmati roti kesukaan Azura. Entah itu sebuah kebohongan atau memang cita rasa Arunika sesuai dengan lidah Adrian.
Lelaki itu menaikkan alisnya, melihat ke arah Azura dengan kedua mata membulat, tersenyum di tengah-tengah kunyahan roti isi keju itu. Ekspresi itu menunjukkan bagaimana Adrian menikmati sarapannya. Di depannya, Azura hanya melihat, meminum kopinya, kemudian mendesah.
Melihat ekspresi Adrian itu, Azura menyesali hal-hal yang sudah berlalu. Dia mempertanyakan ke mana saja dia selama ini? Kenapa Adrian tidak pernah mendengarkan pendapat Azura dan menganggap dirinya tidak ada apa-apanya?
Adrian menyelesaikan sarapannya, menyeka mulutnya dengan sapu tangan, kemudian meminum air putih yang disediakan Tari. Dia melihat ke arah Azura setelah melakukan itu semua.
"Kamu enggak sarapan?" tanyanya. Azura tidak memesan sarapan. Perempuan itu hanya memesan secangkir kopi.
"Nanti," balas Azura. Dia menunduk, kemudian mengangkat kembali wajahnya. "Aku berkencan dengan Bas." Azura tahu, Adrian pasti sudah tahu mengenai ini. Tapi, dia ingin memperjelas hubungannya dengan Adrian.
"Aku tahu," balas Adrian. Untuk beberapa alasan, Adrian meyakini hal itu, walaupun Azura tidak bercerita padanya. "Dan aku tidak peduli soal itu. Itu pilihanmu. Aku juga memiliki pilihan yang sama."
Dahi Azura berkerut.
"Hubungan kita berbeda, Azura. Kita tidak terpisahkan," ujar Adrian.
"Kenapa kau seperti ini?"
Adrian menggeleng pelan. "Mungkin, aku sedang menyesal? Tapi, akan aku perbaiki ini."
"Enggak ada yang harus diperbaiki, Rian."
Adrian melihat ke arah jam tangan di tangan kanannya, lalu pandangannya beralih ke arah luar Arunika. Di sana dia melihat Bas sedang melepas helmnya. Adrian berkata, "Sepertinya, aku harus pergi. Kamu benar, Azura, sandwich di sini sangat enak. Lain waktu aku akan datang lagi."
Azura tidak berkomentar apa-apa.
Adrian meraih jaketnya. Pagi ini lelaki itu mengenakan kaus dan celana jeans. Terlihat jelas kalau dia memang sengaja datang ke Arunika untuk memesan roti isi.
"Sampai ketemu lagi, Azura." Setelah berkata begitu, Adrian berbalik dan berjalan keluar Arunika, di pintu Arunika dia berpapasan dengan Bas.
Tentu saja, Bas terkejut melihat atasannya itu di Arunika dengan pakaian yang santai.
"Mau sarapan?" sapa Adrian.
"Selamat pagi, Pak," sahut Bas.
"Pagi," balas Adrian. "Sampai ketemu di kantor."
Adrian membuka pintu Arunika, kemudian menghilang di balik pintu.
Bas melihat ke arah Azura. Perempuan itu menundukkan wajahnya dengan gusar.
***
"Aku enggak janjian dengan Adrian."
Begitu kata Azura ketika Bas dan dirinya sedang mengunyah roti isi di Arunika. Bas melihat ke arah Azura, kemudian tersenyum. "Ya, aku tahu."
"Aku sudah memberikan perpisahan pada Adrian, tetapi sepertinya dia belum menerima hal itu," cerita Azura. "Mungkin, memang berat untuknya." Azura mendesah. Dia kembali menggigit roti isi daging dengan keju itu dengan brutal. "Dia berkata menyukai roti di sini. Padahal, aku sudah cerita sejak pertama kali ke Arunika. Kamu tahu, Adrian sama sekali enggak tertarik, lalu sekarang tiba-tiba saja bilang suka."
Bas mengulurkan tangannya, menyeka sisa makanan di sudut bibir Azura dengan ibu jarinya. Lalu, dia meraih cangkir kopi dan menyesapnya. Selama Bas melakukan itu, Azura diam. Dia memutar bola matanya dengan canggung, lalu dia menyadari satu hal.
"Aku terlalu banyak membicarakan Adrian, ya?"
Kekasih barunya itu melihat ke arahnya, kedua matanya tidak berkedip. "Itu tahu."
"Eh, maaf," sahut Azura dengan suara rendah.
"Nasibku buruk sekali, ya? Kita baru jadian hari ini. Belum ada 24 jam. Sepagi ini sudah melihat kekasihku bersama mantan pacarnya."
"Bas, maaf," ucap Azura. "Aku hanya kesal dia tiba-tiba datang ke sini."
"Iya, aku tahu," sahut Bas. "Kita bicarakan hal lainnya saja, ya."
Azura mengangguk.
"Banyak hal yang akan kita lalui," Bas memulai kembali percakapan. Saat ini sarapan Bas dan Azura sudah habis, menyisakan cangkir-cangkir yang berisi kopi tinggal sedikit, serta remahan roti di atas piring saji. Bas berpikir bahwa hubungannya dengan Azura tidak akan mudah. Selain karena Azura baru saja putus dengan Adrian, fakta bahwa Adrian atasan Bas, dan lelaki itu belum menerima dengan keputusan Azura.
Bas masih ingat bagaimana Adrian berkata kepada Bas bahwa Azura akan berakhir dengannya, membuat Bas berpikir kalau Adrian tidak akan menyerah.
"Memang seperti itu, 'kan?" sahut Azura. "Aku enggak tahu bagaimana hubungan kita kelak, tapi bukankah kita sudah seharusnya menjalaninya dengan sebaik mungkin?"
"Bukan hanya sebaik mungkin, Zura, tetapi harus berusaha lebih keras."
"Ya, itu juga."
Azura menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Lalu, dia melihat ke arah Bas dengan kedua mata menyipit. "Pernah enggak kamu kepikiran pada akhirnya kita duduk berdua seperti ini?"
"Kenapa? Kamu mengingat hari pertama pertemuan kita? Ckckck ... kamu sangat ketus."
"Bagaimana enggak ketus, kamu sok kenal sok dekat begitu," sahut Azura. Mereka berdua tertawa. "Gila ya, sekarang kita malah duduk berdua seperti ini." Azura mengambil jeda. "Aku ingin mengenalmu lebih jauh, Bas. Segala hal mengenai kamu. Aku ingin mengetahui itu."
"Aku juga," sahut Bas. "Semalaman aku berpikir untuk segera menemuimu, bercerita bagaimana gelisahnya aku memikirkan perkembangan hubungan kita. Ya, kamu tahu, hal-hal receh semacam jaketku tertinggal di kantor ketika aku sudah di parkiran motor. Akhirnya, aku kembali untuk mengambilnya."
Azura mengulurkan tangan kanannya, kemudian disambut oleh Bas, "Aku akan mendengarkannya, Bas. Seremeh apa pun itu. Aku juga akan menceritakan segala hal yang ingin kuceritakan padamu."
Lalu, keduanya sama-sama tertawa. Baik Bas maupun Azura merasakan perasaan yang begitu hangat pagi itu. Keduanya, menemukan satu sama lain, ketika kehidupan begitu mencekik.
***
Tama mengambil papan menu di samping pintu, kemudian masuk ke Arunika. Dia menutup pintu, menguncinya, kemudian membalik tulisan "buka" menjadi "tutup". Di sisi lain, terdengar suara Tari sedang mencuci piring. Baik Tama maupun Tari sibuk dengan membereskan Arunika siang itu. Mereka bekerja dalam diam. Satu jam kemudian, Tari membawa dua dua tangkup roti isi daging dan keju ke salah satu meja.
"Menurutmu, mereka akan bertahan berapa lama?" tanya Tari di sela-sela kunyahannya. Dia makan roti buatannya sendiri dengan rakus. Berbeda dengan roti isi lainnya, Tari mengisi roti mereka dengan daging yang lebih banyak.
"Hem ..." Tama tidak langsung menjawab. "Mereka saling mencintai dan yang lebih penting dari itu adalah ..." dia mengambil jeda, "... mereka saling membutuhkan. Kamu tahu, seperti kita. Menemukan satu sama lain."
"Ya," sahut Tari. "Tapi, kamu tahu, kan, enggak ada pasangan yang bertahan lama ketika bertemu di Arunika? Kecuali, kita."
"Aku berharap mereka bertahan lama," lirih Tama. "Walaupun sulit."
"Aku berharap hal yang sama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Arunika [TERBIT]
General FictionAda sebuah kafe yang memilih buka di waktu usai subuh, ketika orang-orang masih mendekap selimut mereka, Tari - pemilik kafe - memilih menggiling kopi dan menyiapkan roti isi untuk sarapan. Arunika, sebuah kafe yang mempertemukan pekerja malam dan p...