BAB 28: Adiksi

1.8K 202 22
                                    


Adrian mengenal Azura sudah sejak lama. Awalnya, Adrian hanya menganggap Azura sebagai perempuan pada umumnya, adik karena usianya lebih muda daripadanya, dan anak dari sahabat ayahnya.

Lalu, definisi-definisi itu berubah menjadi kekasih, orang yang paling Adrian cintai, dan masa depan. Adrian tidak pernah membayangkan hidupnya tanpa Azura. Perempuan itu, segalanya untuknya. Dia lebih berharga daripada kehidupannya sendiri. Adrian menjadi terobsesi kepada Azura dan tanpa sadar, dia mengendalikan perempuan itu.

Sesuatu hal yang Adrian sesali, dia berpikir bahwa Azura tidak akan ke mana-mana. Hatinya tidak akan pernah lelah menamani Adrian. Namun, Adrian lengah ketika dia terlena dengan cinta Azura, cinta itu beralih.

Hanya karena sepotong roti tangkup sialan.

Ketika Azura meminta mereka berpisah, Adrian seperti orang kehilangan semangatnya. Tentu, dia tidak menunjukkan secara terang-terangan. Dia terlalu gengsi untuk itu. Adrian dibesarkan dengan penuh tuntutan dan ajaran dari ibunya bahwa laki-laki itu harus keras dalam menghadapi dunia. Maka, ketika Azura meminta perpisahan, dia tidak tahu cara melembutkan diri agar Azura tetap bersamanya.

Kini, ketika semua sudah berlalu dan Azura memiliki kekasih. Adrian berusaha keras agar Azura kembali kepadanya, salah satu caranya adalah melalui keluarga. Sebab, sejak awal keluarga merekalah yang membuat Adrian dan Azura bersama. Maka, satu-satunya cara untuk membuat Azura kembali adalah keluarga.

"Mama kenapa nggak bisa menerima Azura? Dulu mama sangat menyukai dia," kata Adrian pada ibunya.

Ibunya itu mendesah, dia menatap piringnya yang masih penuh dengan nasi goreng seafood. Ini makanan favoritnya. Dia tidak bisa memakannya setiap waktu, maka hanya bisa makan menu itu satu bulan sekali. Namun, mendapatkan pertanyaan dari anaknya itu membuat nafsu makannya menghilang.

Perempuan itu pikir, Adrian ingin berdua dengannya, makan malam menghabiskan waktu bersama. Namun, tiba-tiba anak satu-satunya itu menanyakan hal yang semestinya dia paham alasannya.

Perempuan itu menaruh garpu dan sendoknya ke atas piring, kemudian mengambil tisu dan menyeka bibirnya.

"Semestinya, kamu mengerti kenapa," jawabnya.

Sama halnya dengan ibunya, Adrian menghentikan kegiatan makan malamnya. Dia menatap ibunya dengan dahi berkerut. "Adrian nggak ngerti."

Perempuan itu menghela napas, "Azura mengingatkan mama sama Aryo, ayahnya," kata ibunya itu tajam. "Setiap kali mama melihat Azura, mama selalu ingat Aryo!" suaranya meninggi.

"Mama merasa bersalah? Ibu takut harta Mama kembali ke mereka?" tanya Adrian tajam. Bibir ibunya bergetar hebat. "Ma, sudah sepantasnya kita berbuat baik kepada mereka. Om Aryo yang bantu papa bangkit. Kalau nggak ada mereka, kita sudah jadi gembel!"

"Lalu, kenapa Mama justru membenci Azura yang nggak tahu apa-apa? Bahkan, dia tidak pernah membenci kita. Bahkan dia dan ibunya berusaha bertahan hidup tanpa membenci kita. Kenapa mama seperti ini?"

"Kamu bakalan menikah dengan perempuan yang lebih baik, Adrian. Mama sudah carikan, lepaskan Azura," kata perempuan itu penuh emosi.

"Nggak," jawab Adrian. "Adrian hanya akan menikah dengan Azura. Nggak dengan siapapun." Adrian menghela napasnya. "Aku bisa menikahinya meskipun tanpa restu dari Mama."

"Adrian!"

"Besok malam, kita akan bertemu berempat," kata Adrian. Dia bangkit dari tempat duduknya. "Kita bicarakan rencana pernikahan Adrian dan Azura. Adrian nggak mau kehilangan dia, Ma."

***

Azura membetulkan letak tas bahunya. Dia menarik napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya. Di sampingnya, ibunya memakai setelan terbaik yang dimilikinya. Keduanya menuju restoran mewah daera Gatot Subroto.

Dua hari lalu, Azura mendapatkan telepon dari Adrian. Telepon itu tepat ketika Azura di indekos Bas. Azura menerimanya dan lelaki itu berkata ingin bertemu dengannya dan ibunya.

"Kita selesaikan masalah kita," begitu kata Adrian.

Azura tidak bisa menolak, sebab ibunya pun sudah diberitahu oleh Adrian. Azura harus datang dan menyelesaikan urusannya dengan keluarga Adrian.

Azura berjalan ke arah restoran dengan menggandeng ibunya. Dia berkata pada pramusaji yang berada di samping pintu masuk, berkata reservasi atas nama Adrian. Pramusaji itu mengantarkan Azura dan ibunya ke lantai dua. Mereka menaiki anak tangga, kemudian berjalan ke sebuah ruangan yang berada di ujung. Ketika pramusaji itu membuka pintu, di sana sudah ada Adrian dan ibunya.

"Azura," panggil Adrian. "Selamat malam, Bu," kata Adrian menyalami ibu Azura.

"Malam."

"Silakan duduk," kata Adrian. Dia menarik satu kursi untuk Dara- ibu Azura. Lalu, satu kursi lagi untuk Azura.

"Selamat malam, Tante," sapa Azura.

"Malam," jawab Rosa, ibu Adrian. "Selamat malam, Mbak Dara," sapanya pada ibu Azura.

"Malam," balas Dara tidak kalah ramah.

"Kita tunggu makanan datang, ya," ucap Adrian. Dia mengambil duduk di sebelah ibunya.

Saat ini adalah waktu yang canggung bagi kedua keluarga. Dulu, Dara dan Rosa sering ke mana-mana bersama. Layaknya seperti Aryo dan Fajrin, keduanya juga akrab, apalagi usia mereka hampir sama.

Namun, kini sudah berbeda. Keduanya seperti membangun tembok tinggi yang sulit dilalui. Terutama oleh Dara. Kehidupan Dara dan Rosa berbeda jauh. Mereka sudah tidak bisa menjadi sahabat karib lagi.

"Boleh saya bicara sekarang?" tanya Azura.

"Kita makan malam dulu, Ra," ucap Adrian.

Azura menggeleng. "Saya dan Adrian sudah putus, Tante," kata Azura. Rosa membulatkan matanya. Dari ekspresi itu saja, Azura sudah tahu bahwa Rosa senang dengan keputusan Azura.

"Kita memang putus, tetapi kita tetap akan menikah," sahut Adrian.

"Nggak," sahut Azura. Di sebelahnya, Dara memegang tangan Azura.

"Azura, jangan begitu," kata Dara.

"Nggak apa-apa, Mbak, biar mereka yang ambil keputusan," sahut Rosa.

Kedua mata ibu Azura membulat, berkaca-kaca. "Kenapa kamu berkata begitu? Sudah lupa dengan apa yang dikatakan Fajrin? Sudah lupa apa yang Fajrin dan Aryo janjikan? Azura dan Adrian harus menikah, apa pun yang terjadi," ucap Dara tegas.

"Bu, biarkan Azura memilih sendiri kehidupan Azura," Azura memohon.

Dara menggeleng keras. "Nggak! Kamu harus menikah dengan Adrian."

"Bu, Azura mohon," kata Azura. Bibirnya bergetar, begitu juga dengan tubuhnya. "Azura sudah nggak mencintai Adrian. Azura mohon," katanya lagi.

Kedua mata ibunya membulat, hingga Azura bisa melihat urat-urat di mata ibunya itu. Dara menggeleng keras, tubuhnya bergetar hebat. Tanpa Azura sadari, tubuh ibunya berubah kaku. Lalu, tubuh itu terjatuh dari kursi.

Azura terkejut dan segera melihat keadaan ibunya, "Bu, ibu kenapa?" dia panik. Lalu, Adrian di sisinya, mencoba memanggil Dara berkali-kali.

Lima belas menit kemudian, Dara dilarikan ke rumah sakit. Dalam perjalanan tidak lebih dari tiga puluh menit itu, Azura menangis terus menerus. Dia pun tahu, ke mana hidupnya setelah ini.

"Bu, maafkan Azura," bisiknya pelan.

Azura berharap ibunya baik-baik saja. Dara satu-satunya orang yang dimiliki Azura dalam hidupnya. Dia tidak mau kehilangan ibunya.

***

Arunika [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang