Bas baru saja keluar dari perusahaan rintisan. Perusahaan yang bergerak di bidang yang sama seperti kantor Bas sebelumnya. Sebuah agensi yang baru berjalan satu tahun. Bas melamar di start up karena merasa perusahaan rintisan ini akan sukses ke depannya. Tanpa halangan berarti, Bas diterima dan besok langsung bisa bekerja.
Bas melonggarkan dasinya, kemudian berjalan ke sebuah warung. Dia membeli sebotol air mineral, kemudian meminumnya sampai habis. Dia merasakan gerah hari itu. Matahari bersinar begitu terik, membuat dahinya penuh dengan tetesan keringat.
Bas mengecek ponselnya yang sejak tadi dia matikan. Setelah benda itu menyala, serbuan pesan masuk seperti sebuah ancaman. Namun, tak satupun pesan datang dari Azura. Perempuan itu mendiamkannya. Pesan-pesannya tidak dibalas dan teleponnya pun tidak diangkat.
Aku dapat pekerjaan.
Begitu pesan yang dikirim Bas. Namun, pesan itu juga tidak dibalas, bahkan belum dibaca.
Maka, Bas memutuskan untuk mampir ke salah satu kafe yang ditemuinya.
Sejujurnya, saat ini dia ingin ke Arunika. Tapi, sayangnya kedai itu tutup ketika matahari berada di atas kepala. Sedangkan Bas butuh tempat untuk melepaskan penat. Sewajarnya, ketika dia mendapatkan pekerjaan, dia akan bahagia. Namun, Bas merasa tertekan karena Azura marah kepadanya.
Bas tidak tahu bagaimana pola pikir Azura. Bisa-bisanya perempuan itu meminta Bas untuk tidur dengannya. Mungkin, Azura hanya bercanda atau dia sedang tertekan. Tapi, tetap saja hal itu tidak pantas diucapkan, apalagi oleh Azura.
Dalam perjalanan pulang, akhirnya Bas menemukan sebuah kafe di antara pertokoan di sisi jalan. Bas menepikan motornya, menstandarkan benda itu, membuka helm, kemudian turun. Kafe tersebut tidak besar, tidak jauh dari Arunika. Bas melangkahkan kakinya ke arah kafe, membuka pintu, lalu berjalan ke arah kasir.
Seorang perempuan berusia sekitar dua puluh tahun menyerahkan buku menu. Bas melihat daftar menu makanan dan minuman di sana. Dia ingat, bahwa di Arunika tidak ada buku menu seperti ini. Maka, ketika diberikan pilihan seperti sekarang, Bas kebingungan.
"Americano saja," ucap Bas. Lalu, Bas menambahkan, "Nasi goreng seafood satu." Setelah memesan, Bas diberikan total harga, kemudian dia mengeluarkan uang selembar seratus ribuan. Setelah mendapatkan kembalian, Bas mencari tempat duduk.
Ketika mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, Bas menyadari bahwa desain interior kafe tersebut didominasi warna abu-abu gelap, nyaris hitam. Kursi dan meja berwarna senada. Ada beberapa warna cokelat tua pada pinggiran kusen dan jendela. Pada bagian lain, terdapat kaca yang disekat oleh kayu berwarna cokelat gelap dan kaca tembus pandang buram.
Bas terkejut, ketika melihat di salah satu meja ada seseorang yang dikenalnya. Begitu ganjil dan aneh. Lelaki itu menghadap sebuah laptop yang menyala, mengenakan kaus berlengan panjang, dan celana jeans yang sobek pada lututnya. Bas segera menghampirinya.
"Tama?"
Lelaki itu menoleh, menengadahkan kepalanya sedikit. "Lho, Bas."
"Kok di sini?"
"Nongkrong." Balas Tama. Dia mengarahkan kepalanya ke kursi di depannya. Pertanda menyuruh Bas duduk di sana.
Bas segera menarik kursi, kemudian duduk. "Kenapa nggak di Arunika?"
"Kan, sudah tutup?"
"Tapi, kan, itu tempatmu," protes Bas.
"Ya," jawab Tama. "Tapi, nanti Tari marah kalau tempatnya dipakai. Lagi pula, bosan."
"Iya, sih."
"Kenapa kamu di sini?" tanya Tama. Dia mengaduk es tehnya yang tinggal separuh, kemudian meminumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arunika [TERBIT]
General FictionAda sebuah kafe yang memilih buka di waktu usai subuh, ketika orang-orang masih mendekap selimut mereka, Tari - pemilik kafe - memilih menggiling kopi dan menyiapkan roti isi untuk sarapan. Arunika, sebuah kafe yang mempertemukan pekerja malam dan p...