BAB 19: Cinta dan Pernikahan Itu Dua Hal Berbeda

751 190 10
                                    


Hari ini, hari Minggu. Semestinya, Azura dan Bas menghabiskan waktu bersama untuk jalan-jalan keluar. Rencana itu sudah mereka bicarakan tiga hari lalu. Bahkan, dalam rencana itu ada kegiatan menonton bioskop dan tiket sudah terbeli. Namun, Bas menghubungi Azura dengan suara parau. Dia berkata tenggorokannya sakit dan demam. Maka, acara hari itu batal.

Azura memahami hal itu, tapi tetap saja dia merasa kesal. Perempuan itu tahu apa penyebab Bas jatuh sakit. Semalam, lelaki itu mengantarkan Ndari pulang dan dia kehujanan, karena jas hujan Bas dipakai oleh Ndari. Ketika mendengar cerita Bas, Azura sempat marah tapi dia mencoba memahami kebaikan hati Bas yang rela tidak pakai jas hujan. Azura sempat bertanya, kenapa dia tidak berteduh saja, kata Bas itu akan memakan waktu dan takut Azura marah kalau lama-lama bersama Ndari.

Memikirkan hal itu lagi, membuat Azura kesal.

Setelah berdiam diri beberapa saat, Azura akhirnya berganti pakaian, mengambil tasnya dan memesan ojek online. Dia berencana ke indekos Bas hari itu. Selain karena khawatir dengan keadaan Bas, dia juga merindukan lelaki itu.

Indekos Bas berupa bangunan dua lantai dengan tipe bangunan berbentuk huruf U. Azura pernah diajak Bas ke sini sekali, ketika ponsel Bas tertinggal. Bangunan itu dilindungi oleh pagar besi berukuran dua meter, tapi tanpa dikunci. Azura turun dari ojek online, menyerahkan helm, kemudian berjalan ke arah pos satpam di indekos itu.

Azura bertanya kepada satpam yang duduk-duduk sambil mengisap rokok di dalam pos mengenai kamar Bas. Lelaki berusia awal empat puluh tahun itu mengatakan Bas mendiami kamar bernomor lima belas di lantai dua. Setelah mengucapkan terima kasih, Azura segera berjalan ke arah tangga yang berada di sisi kanan menuju lantai dua.

Setelah melewati anak tangga dan beberapa daun pintu, Azura sampai di kamar nomor lima belas. Dia mengetuk pintu dua kali, tak lama kemudian Bas keluar dengan keadaan kacau.

Bas memicingkan matanya, dahinya berkerut-kerut, rambut acakadut, memakai kaus dalam dan celana pendek. Azura hampir tertawa melihat penampilan lelaki yang seperti anak SMA itu. Tapi, dia mengurungkan hal itu karena melihat wajah Bas memerah dan dia batuk-batuk.

"Zura?"

"Ya, ini aku," jawab Azura.

"Masuk," ajak Bas.

Pertama kali masuk kamar Bas, Azura melihat kasur yang ada di bawah pada sisi kiri pintu masuk, lemari putih kecil dengan dua pintu di sisi kamar mandi, sebelahnya ada meja kerja yang menghadap ke jendela tanpa terali besi dan di sebelah kanan ada pintu tanpa daun pintu menuju dapur kecil.

"Aku sakit," kata Bas.

Azura meletakkan kantong plastik yang dia bawa ke atas meja kerja Bas. Kantong itu berisi bubur, roti tawar, susu dan sarden. Lalu, Azura berjalan ke arah Bas, keduanya berdiri berhadap-hadapan.

Bas menarik tangan kanan Azura, kemudian membawa tangan itu ke dahinya. "Panas, 'kan?"

Azura mengangguk.

"Kamu tahu aku sakit, kenapa ke sini? Nanti nular gimana?" tanya Bas sambil menurunkan tangan Azura.

"Imunku kuat, tenang saja." Azura berbalik dan berjalan ke arah meja kerja Bas. Dia mengambil bubur yang sempat dibelinya sebelum ke indekos Bas, kemudian membawanya ke dapur. "Kamu punya mangkuk, 'kan?" tanyanya pada Bas. Dia melihat Bas berbaring di kasurnya.

"Ya."

Azura mengambil mangkuk di rak piring, kemudian menuangkan bubur yang dibelinya ke dalam mangkuk. Lalu, dia membawa mangkuk itu keluar dapur. Di sisi Bas, Azura duduk bersimpuh, kemudian menyentuh lengan kekasihnya itu.

"Makan dulu."

Bas menuruti perintah Azura. Dia mengambil bubur yang disediakan Azura, kemudian memakannya sampai habis. Setelah itu, Bas memilih untuk istirahat. Ketika Azura melihat Bas sudah makan dan minum obatnya, dia kembali ke dapur dan mencuci piring.

Hari itu, Azura sibuk mengurus Bas. Dia membuatkan Bas bubur, membersihkan indekosnya, dan berkali-kali mengganti handuk di kening Bas.

"Perempuan lain yang bikin kamu sakit, aku yang harus merawat," ucapnya ketika dia sudah duduk di tepi Bas.

***

"Menurutmu, apakah cinta harus ada dalam pernikahan?"

Pertanyaan itu keluar dari bibir Azura. Perempuan itu bertanya sambil memakan nasi sambal dengan lauk ayam goreng. Dia masih di indekos Bas. Ayam goreng itu dia pesan melalui aplikasi. Sekarang pukul tiga sore, Bas sudah bangun dari istirahatnya yang cukup lama itu, demamnya pun sudah turun. Kini, Bas terlihat lebih baik.

Berbeda dengan Azura, Bas memakan bubur buatan Azura. Dia menaburkan butiran gula di atas bubur itu, padahal Azura yakin sudah menambahkan gula ke masakannya.

"Kalau nggak cinta, kenapa menikah?" tanya Bas. Alih-alih menjawab pertanyaan Azura, dia justru melontarkan pertanyaan lain.

"Kamu tahu, orang bilang perempuan harus menikah dengan lelaki yang mencintainya, bukan lelaki yang dia cintai." Azura mendengar pernyataan itu dari ibunya sendiri. Dia ingin sekali memprotes mengenai hal itu, tetapi Azura memilih diam. Sebab, ibunya memiliki kepercayaan sendiri.

"Kalau keduanya bisa saling mencintai, kenapa harus memilih salah satunya?" lagi-lagi, Bas bertanya.

Sayangnya, Bas laki-laki yang memiliki banyak kesempatan memilih. Berbeda dengan perempuan yang lahir di Indonesia dengan budaya patriarki yang sangat kental ini.

Banyak perempuan yang menikah karena memang dia harus menikah, entah itu pilihan orang tua atau dia menikah karena ada lelaki yang berkata mencintainya kemudian mengajaknya menikah. Meskipun, perempuan itu tidak mencintai lelaki itu. Orang bilang, perempuan nantinya akan jatuh cinta pada lelaki itu. Hanya butuh waktu.

Namun, bagaimana kalau tidak? Kenapa orang suka mengambil risiko sebesar itu?

Alasan lain, kenapa perempuan harus seperti itu karena dia akan lebih bahagia. Padahal, perasaan bisa berubah kapan saja.

Bas meletakkan sendoknya di atas piring. Bubur yang dimakannya tinggal separuh. Dia melihat ke arah Azura yang kini memandangi ayam gorengnya yang sudah tinggal tulang dan sisa-sisa nasi di atas daun pisang.

"Kenapa tanya hal itu? Ada apa? Kamu baik-baik saja?"

Azura mengangkat kepalanya, melihat ke arah Bas. "Aku belum jujur kepada ibu, kalau aku dan Adrian sudah selesai."

Bas belum ingin menanggapi pernyataan Azura. Dia menunggu dengan kalimat Azura selanjutnya. Bas tahu bahwa hubungan Adrian dan Azura bukan sekadar sepasang kekasih biasa, tapi mereka sudah mengaitkannya dengan keluarga masing-masing. Bas tahu, buat Azura itu tidak mudah.

"Aku hanya tidak tahu bagaimana cara mengatakannya pada ibu," lanjut Azura. Dia mendesah.

"Pelan-pelan saja," kata Bas. "Nggak usah buru-buru."

Azura memandang Bas. "Adrian datang ke rumah," katanya. "Dia bertanya apakah aku sudah bilang kepada ibu soal hubungan kita. Adrian tahu, kalau aku belum punya nyali untuk bilang ke ibu. Dia sangat tahu itu."

"Aku nggak ngerti."

Azura menunduk, kemudian kembali melihat ke arah Bas. "Hubunganku dengan Adrian sudah direncanakan sejak lama. Sebelum kami menjalin hubungan."

***

Arunika [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang