Tepat pukul empat sore, Azura mengetuk pintu indekos Bas. Dia mengetuk dengan punggung jari-jarinya. Dadanya terasa penuh dan kesal karena Bas tak kunjung membuka pintu itu. Kemudian, ketukan Azura semakin keras, barulah Bas membuka pintu.
"Zura?" tanya Bas terkejut ketika melihat Azura di depan pintu indekosnya. Saat ini, Bas mengenakan kaus oblong hitam dengan celana panjang. Wajahnya terlihat kusut dan ada bekas bantal di pipinya. Matanya merah, rambutnya mencuat ke sana kemari.
Azura mendesah melihat Bas, sekaligus gemas dengan penampilan Bas yang seperti bocah sepuluh tahun itu.
"Kenapa tiba-tiba di sini?" tanya Bas. "Masuk."
Azura mengangguk.
Bas buru-buru membersihkan kasurnya yang berantakan, kemudian menguap lebar-lebar. Azura tersenyum melihat lelaki itu. Dia jauh berbeda dengan Bas ketika ditemuinya di Arunika. Dia ingat bagaimana menyebalkannya Bas ketika pertama kali bertemu dulu, lelaki itu seakan-akan sudah mengenal Azura sejak lama, mengajaknya bicara tanpa peduli Azura kesal. Dia Bas, lelaki yang lebih muda darinya itu memikat Azura. Dia merasakan perasaan berbeda pada Bas. Sebuah kenyamanan yang tidak didapatkannya dari Adrian.
Pada saat itu, Azura berharap Bas adalah Adrian. Tapi, Azura harus memilih, karena kedua orang itu berbeda.
Lalu, Azura berjalan mendekat dan memeluk lelaki itu.
Kedua mata Bas membeliak. Dia belum bisa membaca situasi saat ini, kemudian lelaki itu memeluk Azura dan menggosok punggung perempuan itu. Detik berikutnya, Azura menangis dalam pelukan Bas. Tidak hanya menangis, perempuan itu tergugu. Dia menumpahkan segalanya di dada Bas, tanpa bicara, tanpa penjelasan. Hanya tangisan.
"Nggak apa-apa, Zura. Nggak apa-apa," lirih Bas.
***
Bas membawa kantong plastik berisi dua bungkus nasi campur dari luar. Saat itu, Azura baru saja selesai mandi dan mengenakan kaus serta celana Bas. Melihat Azura seperti itu, Bas mengangkat kedua alisnya.
"Kenapa?"
"Nggak apa-apa," jawab Bas. Dia menarik napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya.
Azura mengeringkan rambutnya dengan handuk. Dia merasa lebih segar setelah menangis selama satu jam di pelukan Bas. Namun, tetap saja tubuhnya masih terasa tidak enak setelah mengeluarkan semua emosinya itu.
Sampai saat ini, Bas belum bertanya mengenai masalah yang dihadapi Azura. Lelaki itu menunggu Azura membuka bibirnya, mengatakannya kepada Bas.
"Makan dulu, ya," ucap Bas. Azura mengangguk.
Bas mengambil dua piring, kemudian membuka satu per satu bungkus nasi campur. Dia menyerahkan satu pada Azura nasi bungkus yang sudah terbuka dan satu sendok. Lalu, Bas mengambil air mineral dari kardus, membuka tutup botol itu dan meletakkannya di sisi Azura.
"Makan yang banyak," kata Bas lagi. Azura mengangguk, layaknya seorang anak yang patuh pada orang tuanya.
Setelah Azura mengambil sesuap nasi, Bas baru membuka nasi miliknya sendiri dan memakannya.
Azura memakan nasinya dengan lahap. Perempuan itu fokus mengunyah, menyendok, kemudian meminum air mineralnya. Dengan tenang, Bas memakan nasinya. Dia memperhatikan setiap gerak Azura, kemudian Bas mendesah.
"Pelan-pelan," katanya.
Namun, Azura tidak mengindahkan kalimat Bas. Lalu, perempuan itu berkata, "Aku bilang ke ibu mengenai kita."
"Lalu?"
"Seperti yang kamu lihat."
"Oh, karena itu kamu menangis?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Arunika [TERBIT]
General FictionAda sebuah kafe yang memilih buka di waktu usai subuh, ketika orang-orang masih mendekap selimut mereka, Tari - pemilik kafe - memilih menggiling kopi dan menyiapkan roti isi untuk sarapan. Arunika, sebuah kafe yang mempertemukan pekerja malam dan p...