Bukan tanpa alasan Azura bekerja sebagai customer service di malam hari. Dia mengalami insomnia yang cukup serius dan Azura tidak tahu bagaimana mengatasinya. Sebelum bekerja sebagai customer service, Azura bekerja di sebuah klinik kecantikan sebagai terapis. Ironisnya, dia seringkali menguap ketika melayani pelanggan dan terkadang tertidur, sebab ketika malam Azura tidak bisa tidur. Maka, dia memutuskan untuk mencari pekerjaan di malam hari.
Pekerjaan sebagai customer service dan di malam hari bukan pekerjaan yang mudah dan dia tidak memiliki kehidupan yang normal seperti orang pada umumnya. Tapi, Azura tidak peduli. Ketika bekerja di malam hari, Azura lebih segar dan bersemangat. Dia merasa lebih hidup dan merasa memang dunianya seperti itu.
Azura hidup bersama ibunya yang sudah berusia enam puluh lima tahun. Dia sudah tidak memiliki ayah dan anak satu-satunya. Azura seorang tulang punggung keluarga. Akan tetapi, ibunya berjualan di depan rumah setiap pagi sampai siang. Azura sudah pernah melarang ibunya untuk berjualan, tetapi ibunya itu bersikeras untuk melakukannya. Maka, Azura menyerah.
Menjadi anak tunggal dan hanya tinggal bersama ibunya, seringkali Azura merasa kesepian. Sebagian keluarga besarnya ada di Semarang, tempat ibunya dilahirkan. Sedangkan di Bandung, sama seperti dirinya, ayah Azura seorang putra tunggal. Maka, mereka tidak memiliki kerabat dekat.
Terkadang, Azura berpikir bagaimana kehidupannya ketika ibunya meninggal kelak? Dia begitu ketakutan apabila itu terjadi. Dia akan menjadi sebatang kara dan tidak tahu harus berbuat apa. Maka, banyak hal yang dilakukannya demi ibunya itu. Termasuk bekerja di malam hari dan membantu ibunya berjualan ketika pagi tiba.
"Sudah, kamu istirahat saja," ungkap ibunya, ketika Azura membantu menjual karedok pagi itu.
"Sebentar saja, Bu," sahut Azura.
"Kamu capek. Butuh istirahat," ibunya mendorong Azura. Tapi, Azura bergeming. Maka, ibunya pun menyerah.
Azura baru berhenti membantu di warung ketika pelanggan sudah sepi. Dia pergi membersihkan diri, kemudian merebahkan tubuh ke atas kasur. Dia merasakan lehernya begitu lelah. Tapi, pikirannya melayang ke pintu Arunika.
Kepada lelaki bernama Baskoro.
Mengingat lelaki itu, tanpa sadar bibir Azura sedikit terangkat. Mengingat lelaki itu membuat Azura kesal sekaligus merasa konyol. Bagaimana mungkin dia bertemu lelaki menyebalkan seperti itu? Apalagi, ketika mengingat ucapan Bas sebelum mereka meninggalkan Arunika.
"Kamu mau datang lagi sabtu minggu depan?"
"Ngapain?"
"Tentu saja mencari promo pasangan," dia terkekeh, begitu juga dengan Azura.
Menanggapi pertanyaan Bas, Azura hanya mengangkat bahu.
***
Sejujurnya, percakapan Azura dan Bas tidak hanya sampai di situ. Keduanya keluar dari pintu Arunika dan berjalan beberapa di trotoar. Saat itu langit sudah cerah, pelanggan Arunika pun berkurang. Kendaraan di jalan depan Arunika mulai padat dan udara sudah hangat.
"Kamu sering ke sini?" tanya Azura.
Bas menoleh dan melihat ke arah Azura. "Ini kunjunganku yang ke ...." Bas menghitung dengan tangannya, kemudian menunjukkan pada Azura. " ... sembilan."
"Kupikir pelanggan lama," ucap Azura.
Bas menggeleng. "Aku baru tiga bulan di Bandung."
"Oh," sahut Azura. "Asli mana?"
"Semarang," jawab Bas.
Mendengar jawaban Bas, kedua mata Azura membulat. "Ah, rumah ibuku di sana."
"Oh ya?" Bas mengangkat kedua alisnya. Azura mengangguk. "Kamu sering ke Semarang?"
Azura menggeleng. "Hanya satu tahun sekali."
Lalu, Azura kembali berbicara ketika mereka berdua sudah sampai pada deretan motor di tepi jalan. "Besok, kamu akan ke Arunika?"
Seperti yang dilakukan Azura, Bas hanya mengangkat bahu. Keduanya pun berpisah.
Sekarang, Azura sedang melayani pelanggan mengenai layanan internet perusahaan. Dia melirik jam yang ada di dinding kantor. Sebentar lagi waktunya pulang. Seperti biasa, Azura akan meninggalkan kursi ketika penggantinya sudah tiba.
Beberapa saat kemudian, sebuah tepukan halus mendarat di punggungnya. Setelah menyelesaikan sambungan telepon, Azura mendongak dan mendapati Laura berdiri di sebelahnya. Dia tersenyum dan segera menggantikan posisi Azura.
"Pak Pandu ingin ketemu," kata Laura. "Tapi ..." dia melirik jam di pergelangan tangannya. " .... satu jam lagi. Ada evaluasi katanya."
Mata Azura membulat. Dia mendesah, kemudian menarik sudut-sudut bibirnya. "Terima kasih, Lau."
Khayalan Azura buyar. Dia melirik jam yang berada di dinding, pukul tiga pagi. Satu jam lagi dia harus berkumpul dengan teman lainnya untuk menemui Pak Pandu. Itu berarti, paling tidak evaluasi dimulai pukul lima pagi dan dia akan terlambat untuk keluar kantor.
Terlambat keluar kantor artinya ...
... Azura terlambat ke Arunika.
Azura mendesah dan segera mengemasi barang-barangnya. Kemudian, dia beringsut berkumpul bersama teman-temannya yang lain untuk menunggu waktu. Memang, atasannya itu sering melakukan evaluasi pekerjaan untuk meningkatkan kualitas kerja. Tapi, bagi pekerja malam seperti mereka, rapat dadakan semacam ini membuatnya jengah. Waktu pulang adalah waktu yang ditunggu-tunggu para pekerja.
Tak ada pilihan lain, selain menunggu.
***
Tak ada janji apa pun yang dilontar oleh Bas maupun Azura.
Azura membuka pintu Arunika yang langsung terdengar suara lonceng. Di balik kasir ada Tama yang mengenakan kaus berwarna putih, tersenyum ke arah Azura. Perempuan itu mengedarkan pandangan ke berbagai sisi Arunika. Sepi. Hanya ada dua pelanggan dan tidak ada ... Bas.
"Selamat datang," sapa Tama. "Tumben siang-siang begini?" tanyanya ketika Azura sudah di depan kasir. Sekarang pukul delapan pagi. Evaluasi dari Pak Pandu membutuhkan waktu dua jam dan sialnya rapat itu dimulai pukul setengah enam pagi.
Kalau boleh jujur, sekarang tubuh Azura terasa lelah. Tapi, dia ingin ke Arunika.
Azura mengulas senyum. Dia tidak menjawab pertanyaan Tama. Lalu, Tari muncul di dari dapur dengan membawa nampan berisi roti tumpuk tiga dengan isian sayur. Kalau diingat lagi, semalam Tama mengunggah informasi bahwa hari ini mereka menyediakan dagwood sandwich. Roti lapis tiga yang merupakan roti gandum. Isiannya berupa selada, ham, tomat, lembaran keju dan daging tipis.
"Hai! Halo, Azura!" sapa Tari dengan ceria. Azura membalas senyuman perempuan itu. Lalu, Tari menyerahkan roti itu kepada seseorang di salah satu meja.
"Roti satu dan kopi," ucap Azura pada Tama.
Tama mengulas senyum, "Baik. Satu dagwood sandwich dan kopi." Dia menyebutkan harga yang harus dibayar oleh Azura, kemudian menyerahkan struk pembelian. Setelah selesai bertransaksi, Azura berbalik dan berpapasan dengan Tari.
"Tumben datang siang-siang?" tanyanya.
"Ada rapat dadakan dan baru selesai," jawab Azura padat. Tari tersenyum, mengangguk, dan menyentuh lengan Azura.
"Oke, aku buatkan pesanan kamu dulu, ya."
Azura mengangguk. Dia beringsut ke meja dekat jendela lebar. Tapi kini, jendela itu ditutup gorden putih transparan karena matahari sudah masuk ke dalam kafe. Azura menarik kursi dan duduk. Dia mendesah menatap ke arah sembarangan. Dia menelan ludah, mencari-cari alasan kenapa dia merasa kecewa.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Arunika [TERBIT]
Fiksi UmumAda sebuah kafe yang memilih buka di waktu usai subuh, ketika orang-orang masih mendekap selimut mereka, Tari - pemilik kafe - memilih menggiling kopi dan menyiapkan roti isi untuk sarapan. Arunika, sebuah kafe yang mempertemukan pekerja malam dan p...