"Kenyataannya, apa pun bentuk perpisahan; dengan atau tanpa pamit, ia tetap menorehkan luka"
Aroma roti panggang memenuhi udara, bahkan ketika pintu Arunika belum dibuka Bas sudah mencium aroma roti panggang itu. Sial. Arunika selalu punya cara untuk membuatnya kembali dan kembali. Bas berpikir, tidak sampai dua tahun, dia akan jatuh miskin dan segemuk kuda nil bila terus menerus datang ke Arunika.
"Menurutmu, bagaimana cara menghilangkan kecanduan makan roti panggang?" tanya Bas disela-sela kunyahan rotinya. Di depannya, Azura sibuk menggigit American Sandwich hingga mulutnya penuh dan tanpa sadar ada sisa saus di ujung bibirnya.
Bas mengulum senyum, kemudian mengulurkan tangannya, mengusap perlahan saus di bibir Azura dengan ibu jarinya.
"Kenapa tanya begitu?" Azura menjawab pertanyaan Bas dengan pertanyaan.
"Aku takut jatuh miskin," jawab Bas, mengutarakan kegelisahannya. Terkadang, ada kegelisahan-kegelisahan sederhana yang ingin Bas bagikan pada Azura. Seperti saat ini, dia mengatakan hal yang terlintas dalam benaknya. Bukan kegelisahan yang membuatmu kesulitan tidur, hanya terlintas begitu saja, lalu Bas mengatakannya pada Azura. Tidak kepada orang lain.
Lucunya, Azura tipe perempuan yang serius itu, menanggapinya. Mendengarkan kalimat Bas yang tidak berharga itu, menjadi sesuatu yang menyenangkan. Seperti sebuah istirahat di kala kelelahan menghancurkan Azura perlahan.
Azura terkekeh. "Kamu enggak bakalan miskin hanya karena makan roti, Bas."
"Tapi, aku membeli roti di Arunika hampir setiap hari, Zura," ungkap Bas. Dia diam, kemudian melihat jari-jari tangan kanannya. Bas menekuk jari kelingking, jari manis, kemudian jari tengahnya. "Minggu ini, aku sudah ke sini tiga kali."
Azura tertegun. Dia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Dia melihat ke arah Bas. "Kamu benar. Sepertinya, aku enggak bakalan bisa kaya kalau ke sini terus."
"Apa aku bilang?"
"Lalu, apa solusinya? Kita jangan ke sini lagi?"
"Itu enggak mungkin, 'kan?"
"Ya, sama sekali tidak mungkin," sahut Azura. "Aku pernah malas berangkat kerja. Rasanya, hari itu aku ingin enggak masuk saja. Lalu, aku buka instagram dan Tama mengunggah foto roti panggang. Tiba-tiba saja, aku dapat kekuatan untuk berangkat. Bukankah hati manusia itu sulit ditebak, Bas? Tiba-tiba saja kau sedih, detik berikutnya kau bisa saja luar biasa bahagia."
Bas tertawa. "Kamu benar. Aku juga pernah merasakan hal yang sama. Tiba-tiba, perasaanku menjadi lebih baik ketika datang ke sini."
Azura dan Bas menghabiskan sarapan mereka. Lalu, ketika roti mereka sudah habis, Bas meminum kopinya. Keduanya melihat ke arah jendela, menatap orang-orang yang sudah memadati jalan raya. Sejenak, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Bas," panggil Azura.
"Hmm ..." jawab Bas tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan.
"Berbicara mengenai perpisahan, kamu lebih suka perpisahan seperti apa?"
Kali ini, Bas melihat ke arah Azura, begitu juga sebaliknya. Azura menaikkan kedua alisnya, tersenyum, kemudian meminum kopinya.
"Aku lebih suka perpisahan dengan pamit," katanya. Azura mengulum bibirnya, lalu kembali berkata, "Menyebalkan apabila tiba-tiba ditinggalkan. Aku ingin perpisahan dengan pamit, seperti sebuah perkenalan."
"Bukankah enggak ada orang yang tiba-tiba saja kenal? Kita selalu memulainya dengan perkenalan, perbincangan, menyebutkan nama masing-masing. Kenapa perpisahan enggak bisa seperti itu? Mengucapkan selamat tinggal, memberikan alasan kepergian; ya, walaupun itu menyakitkan." Azura mengambil jeda. "Tapi, memang ada perpisahan yang enggak menyakitkan?"
Azura mengambil alih percakapan. Bas mendengarkan tanpa mengalihkan pandangannya ke arah lain. Kali ini, Azura menguasai perhatiannya dengan penuh.
"Zaman SMA aku punya seorang teman. Dia sudah berpacaran dengan kekasihnya dua tahun. Lelaki itu sudah kuliah di semester akhir. Lalu, tiba-tiba saja temanku berkata dia ingin mencari lelaki lain. Dengan kata lain, dia bercerita padaku bahwa mereka sudah berakhir." Azura kembali mengambil jeda. Dia mengingat-ingat kejadian bertahun-tahun lalu itu. Hal yang tidak bisa dimengertinya hingga sekarang. "Aku bertanya kenapa mereka putus dan jawaban temanku itu, mengusikku hingga sekarang."
"Dia berkata, bahwa mereka berakhir begitu saja. Dimulai dari lelaki itu sibuk mengerjakan skripsi, lalu lulus, dan bekerja. Mereka tiba-tiba saja tidak saling berkirim pesan sampai akhirnya temanku menganggap mereka sudah berakhir."
"Aku bertanya pada temanku, apa dia enggak tanya alasan kenapa tiba-tiba saja lelaki itu menjauh? Temanku berkata, bahwa ada hal-hal yang enggak perlu dijelaskan. Ada pertanyaan yang enggak perlu dijawab dan kamu enggak perlu tahu itu."
Azura terkekeh. "Aku sama sekali enggak mengerti kenapa dia seperti itu. Kupikir, dia begitu cuek dengan kehidupannya. Mungkin, karena dia masih remaja. Tapi, beberapa hari kemudian, aku melihatnya menangis di toilet. Seorang diri. Dia kembali ke kelas dengan wajah ceria." Azura mendesah. "Kenyataannya, apa pun pilihan dari perpisahan, itu tetap menyakitkan."
***
"Kamu sedih berpisah dengan Adrian?"
Azura melihat ke arah Bas. Lelaki itu menatapnya tanpa berkedip. Azura tahu, Bas hanya penasaran karena dia tiba-tiba membahas topik perpisahan. Tapi, Azura tidak akan mengelabui Bas dengan kalimat yang macam-macam. Dia suka berbicara jujur kepada Bas. Apa adanya. Dia suka hubungan mereka saat ini. Tidak ada ketakutan yang membuat Azura harus menyembunyikan banyak hal di hadapan Bas.
"Iya," jawab Azura. "Bagaimanapun, Adrian lelaki yang pernah kucintai. Lalu, perasaan cinta itu berubah menjadi perasaan sayang. Kami tumbuh bersama seperti dua orang sahabat yang ingin saling melindungi. Tapi, kami gagal. Dipaksakan sekuat apa pun, kami enggak bisa bertahan." Azura mendesah. "Atau aku yang memilih untuk menyerah lebih cepat."
"Kamu sengaja membuatku cemburu, ya?" ungkap Bas. Dia menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya. "Apa kopi ini yang bikin dadaku berdetak lebih cepat dan dada agak sesak, ya?"
Azura tertawa kecil. "Gerd?"
"Mungkin."
"Aku enggak ingin menyembunyikan apa pun darimu, Bas. Termasuk perasaanku terhadap Adrian."
"Ckckck, ternyata kau perempuan seperti ini, Azura. Suka membuat laki-laki kebingungan," ucap Bas. "Kamu suka hubungan kita yang seperti ini? Tanpa kejelasan dan tujuan? Kamu lebih nyaman seperti ini?"
Lagi-lagi, Azura tertawa. "Justru, aku ingin memulainya dengan membahas perpisahan Bas. Aku ingin tahu, perpisahan seperti apa yang kamu sukai. Aku akan melakukannya untukmu, kelak kalau kita harus berpisah. Ketika kita sudah bosan dengan hubungan kita. Ketika kita sudah enggak ada hal yang bisa kita bicarakan lagi. Aku akan melakukan perpisahan terbaik untukmu dan kamu harus melakukan hal yang sama."
Bas mengerutkan keningnya. "Kamu benar-benar perempuan yang rumit, Azura."
"Bukankah itu yang membuatmu menyukaiku?"
Bas mengangguk. "Benar."
"Lantas?"
"Sebentar, aku berpikir dulu."
"Oke."
Azura memberi waktu Bas untuk berpikir. Lalu, keduanya mendorong kursi masing-masing, berpamitan pada Tama yang ada di belakang meja kasir, berjalan keluar Arunika. Di luar, ketika keduanya berdiri di motor masing-masing, Bas membuka suara.
"Sepertinya, aku memilih perpisahan dengan pamit, Azura. Katakan alasan kepergianmu, kelak ketika kamu ingin mengakhiri hubungan kita."
Azura mengangguk. "Oke. Aku akan memberikan perpisahan terbaik untukmu."
Bas mengangguk. "Berarti, hari ini, hari pertama kita?"
Azura menggeleng. "Besok."
Bas tidak bisa menahan senyumnya, begitu juga dengan Azura. Bas berdeham untuk melegakan tenggorokannya. "Kenapa tiba-tiba kamu mau bersamaku?"
"Ini adalah solusi agar kita enggak jatuh miskin, Bas. Bukankah, kamu ingin terus makan di Arunika tanpa jatuh miskin. Gratis untuk pasangan. Ingat?"
"Wanita cerdas!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Arunika [TERBIT]
Художественная прозаAda sebuah kafe yang memilih buka di waktu usai subuh, ketika orang-orang masih mendekap selimut mereka, Tari - pemilik kafe - memilih menggiling kopi dan menyiapkan roti isi untuk sarapan. Arunika, sebuah kafe yang mempertemukan pekerja malam dan p...