Dulu saat masih tinggal dengan Papa dan Mama, Jaemin tidak pernah bingung hendak memakan apa di pagi hari. Turun dari kamarnya, ia pasti sudah mendapati meja makan penuh dengan masakan Mama yang rasanya bahkan bisa mengalahkan masakan koki terkenal. Entah itu masakan oriental maupun makanan dari barat sekalipun, Jaemin bisa langsung menyantapnya.
Mama memang pandai memasak, dan hal itu juga menurun pada dirinya.
Ingat sekali, dulu ia sering berlomba memasak dengan Mama, sementara Papa lah yang menjadi juri dadakan. Biasanya, ia dan Mama akan saling membuat kue kering, lasagna, bahkan masakan khas negeri sendiri. Dan ketika dirinya menang, ia akan mendapat tambahan uang saku. Yang mana sebetulnya ia masukkan ke dalam tabungannya di bank.
Seru sekali jika diingat. Mama, Papa, dan ia sendiri, merupakan contoh nyata dari keluarga bahagia.
Namun sejak masalah itu hadir, semua berubah. Papa di penjara, lalu Mama yang tidak kuat menanggung malu meminta cerai. Dan setelah kedua orang-tuanya benar-benar berpisah, Jaemin betul-betul tidak lagi merasakan kasih sayang. Mama sudah tidak mau lagi tinggal di rumah, memutuskan kabur entah kemana dengan membawa uang milik Papa. Meninggalkan Jaemin dengan seluruh kekosongan yang menemani.
Sekarang, tak ada lagi sarapan di meja, tak ada lagi lomba memasak, semua hilang. Rumah yang semula hangat, kini menjadi begitu sunyi dan dingin. Bagai tak berpenghuni. Meski sebetulnya ada Jaemin di dalamnya, tapi Jaemin juga tak merasa jika dirinya tinggal. Jiwanya bagai hilang.
Dirinya ikut berubah. Tidak menjadi Jaemin yang penuh kasih, menebar energi positif lewat senyumannya yang menawan, membuat siapapun yang menatap pasti akan ikut mengembangkan senyuman. Tapi sekarang, Jaemin hanya anak dari keluarga yang pecah, dengan segala tingkah laku buruk yang telah menjadi branding diri.
Jaemin mulai mencoba alkohol, mulai berani mabuk di club, pulang larut bahkan pernah pulang ketika fajar tiba.
Jaemin juga turut serta dalam tawuran. Ia beberapa kali diminta menjadi petarung utama dalam tawuran itu, dengan bayaran yang menurutnya sangat besar. Cukup untuknya makan dan keperluannya selama dua minggu.
Namun makin lama, Jaemin mulai merasa candu dengan sensasi puas ketika dirinya mampu menumbangkan lawan. Ketika melempar kepalan tangan dengan sekuat tenaga, mengenai rahang, pipi, atau bahkan tepat di bola mata, ia puas bisa melampiaskan seluruh emosinya.
Jaemin juga mengakui jika dirinya yang sekarang bukanlah Jaemin yang dulu.
Ting
Kelopak mata yang nyaris terpejam itu terbuka lebar mendengar denting dari oven yang tengah menyala. Jaemin bangkit dari duduknya, kaki tanpa alasnya melangkah pelan untuk mengambil pie apel yang ada di dalamnya.
Berkat uang dari kakek yang rutin memberi uang saku setiap bulan, Jaemin masih bisa menggunakan oven hingga sekarang. Pun, bisa membayar tagihan listrik tanpa tunggakan. Pelan-pelan ia juga mulai mengurangi kebiasaan minum nya di akhir pekan. Ia memilih menyimpan uang itu untuk kebutuhannya sehari-hari dan membeli bahan makanan setiap minggu.
Pie apel di loyang sudah ia pindahkan ke piring, membiarkannya dingin untuk sementara waktu supaya saat ia masukkan ke dalam kotak tidak akan berembun. Takutnya, pie itu akan basi jika dibiarkan masuk dalam keadaan panas.
Meninggalkan dapur, Jaemin melangkah menaiki tangga. Pintu kamar di buka lebar, pemandangan ranjang dengan selimut dan bantal yang tertata rapi; dinding bercat biru gelap; dan lampu temaram, langsung menyapa pandangannya. Ia melangkah masuk.
Lemari di sudut kamar ia hampiri, menggeser pintu nya lalu termenung sejenak. Menimang, baiknya mengenakan apa untuk mengunjungi Papa. Minggu lalu, ia sudah datang dengan kemeja hitam— yang omong-omong dimilikinya sebanyak tujuh buah.
KAMU SEDANG MEMBACA
After Poisoned Love
Fanfiction• Sequel dari Toxic [ Mark Lee ] • Awal pernikahan mereka memang tak berjalan dengan baik. Namun seiring berjalannya waktu... keduanya sadar jika mereka tak dapat hidup tanpa kehadiran satu sama lain. Mereka saling membutuhkan, saling menginginkan...