Rachel menajamkan pendengarannya ketika samar-samar mendengar suara Pak Doyoung, yang terdengar tengah bercakap dengan seseorang di luar ruang konseling. Samar-samar pun ia bisa mendengar suara Jaemin sesekali menyahut. Tidak, bukan hanya Pak Doyoung dan Jaemin saja. Rachel juga bisa mendengar satu suara yang tak begitu asing di telinga. Namun, ia juga tidak tahu dimana ia pernah mendengar suara tersebut. Mungkin saja Lee Taeyong, iya kan?
"Oh, betul, Pak. Guru Konseling yang akan Bapak temui ada di dalam."
Kemudian ia mendengar suara tawa, "kirain Pak Doyoung lagi yang bakal nanganin Jaemin. Pasti bakal bosen banget, ya, Pak?"
Rachel mengangguk-angguk. Oh, mungkin Pak Doyoung pernah bertemu dengan Lee Taeyong. Sehingga dua orang dewasa itu nampak akrab seperti ini.
Setelah itu, Rachel juga bisa mendengar suara Jaemin yang ikut nimbrung, "saya ikut masuk atau nunggu diluar, Pak?"
"Ikut masuk ya, Jaemin. Nanti biar dikasih nasehat lagi, terus biar kamu ini sadar dan nggak bandel lagi." Kalau ini sih jelas suara Pak Doyoung.
Rachel tahu betul kalau rekannya itu tengah menahan rasa kesal akan tingkah Jaemin. Pun, ia bisa membayangkan bagaimana raut wajah Pak Doyoung yang menahan amarah tapi tetap berusaha memasang wajah seramah mungkin.
"Kalo gitu saya tinggal, ya? Nanti langsung masuk aja nggak papa, saya udah bilang kok."
Suara ketukan dari sepatu pantofel terdengar menjauh, yang Rachel tebak adalah kepergian Pak Doyoung meninggalkan Jaemin dan Lee Taeyong atau ayahnya itu. Beberapa saat berlalu, dan bukannya mendapati pintu ruang konseling dibuka, Rachel malah mendengar sebuah tamparan keras. Ia bahkan sampai terlonjak dari tempat duduk, inginnya segera berdiri dan menghampiri Jaemin untuk sedikit menolong anak itu. Meski ia sendiri juga geram akan segala tingkah bandel Jaemin, tapi ia bukan sosok yang setuju terhadap adegan main tangan sebagai penanganan terhadap bocah bandel.
Namun ia urung, memilih mendengarkan kalimat yang ia dengar dengan seksama.
"Berapa kali lagi harus nasehatin kamu?"
"Kamu udah pernah denger kan Papa sama Kakek ngomong apa? Jangan bandel, jadi anak penurut, jangan bikin hal-hal di keluarga kita makin rumit, Jaemin."
Rachel meneguk ludah, dari suaranya saja Rachel bisa merasakan luapan emosi yang begitu hebat. Pun, Rachel bisa menilai jika si pemilik suara ini merupakan sosok yang tegas dan keras. Ia tak dapat membayangkan bagaimana Jaemin mendapatkan amarah seperti ini ketika di rumah.
Suara Jaemin terdengar setelahnya, "maaf, Jaemin janji nggak akan ulangi lagi."
"Maaf dari kamu itu udah nggak berguna, kamu tau? Om udah nggak mempan kalo disogok pake kata maaf. Kalo mau minta maaf, minta maaf ke Papa. Karena kelakuan kamu ini, nama Papa yang makin jelek."
Huh?
Rachel mengerjap, merasa tidak percaya atas apa yang baru ia dengar. Om?
"Sekarang masuk, kita dengerin gimana kelakuan kamu selama Om nggak nengok kamu."
Rasa keterkejutan Rachel belum sepenuhnya mereda ketika sepasang matanya melihat presensi Jaemin, juga presensi seseorang yang membuat jantungnya bagai berhenti berdetak. Rachel pernah meminta pada Tuhan, supaya ia tidak lagi di pertemukan dengan sosok yang ada di depannya ini. Tapi lihat sekarang, keduanya malah bertemu di situasi yang tak pernah terduga.
Rachel hanya bisa mematung, pun laki-laki di depan sana. Tubuhnya bagai disihir agar berhenti bergerak, bagaikan ia dititahkan agar hanya menatap sang perempuan. Dan entah mengapa, ia bisa merasakan dadanya sesak. Bahkan tanpa sadar, meremas lengan Jaemin yang masih ia pegang dengan terlalu kuat. Sampai-sampai sang keponakan meringis, tetapi tak berani bersuara sebab merasakan tensi tak mengenakan tengah melingkupi mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
After Poisoned Love
Fanfiction• Sequel dari Toxic [ Mark Lee ] • Awal pernikahan mereka memang tak berjalan dengan baik. Namun seiring berjalannya waktu... keduanya sadar jika mereka tak dapat hidup tanpa kehadiran satu sama lain. Mereka saling membutuhkan, saling menginginkan...