24 [Yayah]

559 66 6
                                    

"Bunda beneran nggak ikut?" Rachel bertanya demikian setelah Ayah berkata sudah sampai di bandara dan akan flight satu jam lagi. Padahal, Ayah diantarkan oleh Bunda. Namun mengapa Bunda tidak sekalian ikut saja sih?

Wajah Bunda yang masih nampak bugar muncul di layar, wanita itu tertawa kecil, "nggak, Chel. Bunda masih harus ngurusin event gede di kantor. Terus si bos juga rewel banget akhir-akhir ini, jadwal-jadwal yang udah Bunda susun tuh pengen di ubah ini lah itu lah. Ribet,"

Rachel mengangguk-angguk, kemudian menyandarkan ponselnya dengan buku tebal miliknya. Ia bisa melihat Bunda sedang mengunyah roti berikut Ayah yang menyeruput kopi.

Ia kembali menata baju-baju yang hendak Yuta bawa nanti sore; betulan akan berangkat ke luar kota.

"Haruto mana?" Suara Ayah terdengar, ponsel bergerak sehingga sosoknya muncul dilayar.

Kepala yang rambut panjangnya di kepang dua— Aisha yang melakukan ini untuknya— bertoleh ke kanan-kiri. Mencari anak laki-laki yang tadinya bermain dengan tumpukan baju milik sang ayah; hendak membantu Mama, katanya. Satu menit lalu, bocah itu masih berada di belakangnya, manyun sambil menggerutu pelan sebab kesulitan melipat baju dengan rapi. Namun, sekarang sudah menghilang saja.

"Nggak ada?" Kini Bunda yang bersuara.

Rachel mengedikkan bahu, kemudian mengalihkan pandangannya pada ponsel yang masih menyala, "tadi masih di belakang aku, udah ilang aja sekarang."

"Oh... lagi keluar kali, apa sama Papa nya, mungkin," Bunda melanjutkan. Dari layar, Rachel dapat melihat kepala Ayah mendekat dan menggigit roti dari tangan Bunda. Buat wanita tersebut berseru 'Jongin, ih!' sekilas kemudian menggigit rotinya besar-besar sebagai bentuk kekesalan.

Ia terkekeh, "Bunda sama Ayah nggak mau rujuk aja?"

Hening beberapa saat sebelum akhirnya dua orang di layar ponsel itu tertawa; sampai terbahak-bahak, juga sampai memukul bahu satu sama lain. Bunda yang pertama kali bersuara setelahnya, "kapan-kapan deh,"

"Kapan-kapan apanya?"

"Ya rujuknya," Ayah menyahut, buat Rachel bingung dengan maksud keduanya. Betulan hendak rujuk atau tidak?

"Kalo sekarang nggak dulu, Ayah ogah nikah sama tukang ngiler." Lanjutnya, yang setelahnya langsung mendapat jambakan di rambut. Pelakunya jelas saja Bunda; sebab wanita itulah yang dimaksud tukang ngiler oleh Ayah.

Rachel dapat melihat Bunda yang melotot dan berkacak pinggang, "Enak aja! Kapan aku ngiler? Nggak ada tuh!"

"Nggak ada apanya, nih!" Ayah menunjuk bahunya, "kamu tadi ngiler ya pas naik taksi!"

Bunda melakukan rolling eyes kemudian merebut ponsel dari tangan Ayah, "jangan percaya, Chel, bohong dia."

Rachel terbahak, duh... padahal dua orang itu sudah bukan remaja lagi. Namun mengapa masih saling ejek seperti bocah SD begini, ya?

Jujur saja, Ayah dan Bunda masih terlihat cocok meski sudah bercerai selama enam tahun. Pun, seperti tidak ada kata canggung diantara mereka. Ayah yang selalu saja mencari gara-gara untuk membuat Bunda marah, dan Bunda dengan rolling eyes andalannya dalam menanggapi segala tingkah Ayah.

Ia berharap dua orang ini bisa rujuk dan menikah kembali.

"Haruto masih di pre-school yang dulu itu, Chel?" Bunda bersuara, sambil mengelap tisu di tangan sementara ponselnya dipegang oleh Ayah.

Rachel mengangguk, memasukkan baju yang telah dilipat rapi ke dalam koper di sisi tubuh, "iya, Bunda inget? Yang gurunya Yerim itu loh,"

"Mama!"

After Poisoned Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang