2

54 25 32
                                    

Saat setengah jalan menuju rumah, langit sudah temaram berwarna oranye kemerahan, jadi aku mempercepat langkahku. Aku harap Ayah belum pulang dan aku tidak dikunci diluar seperti tempo hari.

Aku setengah berlari dengan keranjang penuh jagung dan jeruk di gandenganku, melewati rumah tuan Horold dan berbelok memasuki pagar halaman rumahku yang di tumbuhi mawar merah muda.

Tanganku sudah memegang kenop pintu siap untuk membukanya sebelum akhirnya seseorang membukanya dari dalam dan membuatku menjerit kecil.

"Sial! Bikin kaget saja." Hansel mengelus dadanya dan menghembus-hebuskan nafas melalui mulut karena terkejut. Begitu juga denganku.

"Aha! Anak nakal! Pulang larut lagi, untung ayah belum pulang, jika tidak kau akan dikunci di luar lagi seperti waktu itu." Hansel berkacak pinggang tepat di ambang pintu.

"Maaf," kataku seraya mendorong bahunya supaya mundur dan aku bisa masuk ke dalam rumah.

"Mau jeruk?" Aku menyodorkan keranjangku padanya begitu sudah masuk dan menutup pintu.

Tanpa menunggu persetujuanku lagi, kakakku langsung melayangkan satu buah jeruk dari keranjang ke genggamannya.

Dasar tukang pamer.

"Terimakasih adikku yang manis." Dia menyengir dan membuat kedua matanya menjadi dua buah garis lengkung.

Aku pergi ke dapur untuk meletakan keranjangku, dan disana ibuku tengah memasak makan malam kami. Ia mengaduk-aduk sup yang sedang ia masak dalam panci sambil mengendalikan pisau yang bergerak mengiris-iris sayuran dengan sihir di sampingnya. Aroma masakannya memanjakan hidung dan seketika membuat nafsu makanku tergugah.

Aku duduk di salah satu kursi yang mengitari meja makan dan menatap ayam panggang saus madu, salad, serta roti yang sudah bertengger rapi di atas meja bersamaan dengan alat-alat makan.

"Kali ini kau membawa jeruk?" Ibuku melirikku dan keranjang yang ku bawa sekilas, lalu kembali fokus mengaduk dan mencicipi sup yang sedang dimasaknya.

"Ya, dan jagung," terangku.

Ibuku tergelak.

Ya aku tahu ibuku sudah tahu, maksudku dia tidak buta, aku hanya berbasa-basi. Entahlah, aku tidak pandai membuka percakapan saat di rumah.

"Ayah belum pulang?"

"Sebentar lagi." Ia mencicipi supnya dan menimbang-nimbang apakah rasanya sudah sesuai.

Aku bangkit dari dudukku untuk pergi mandi, karena bau ku saat ini sudah bukan bau seorang gadis lagi.

Aku sengaja berlama-lama di kamar mandi untuk berendam, lagi pula waktu makan malam masih agak lama. Aku menggosok dan membersihkan tubuhku sambil melamun, hanya disini aku bisa melamun tanpa diganggu atau dikejutkan siapapun, dan di kamar mandi juga aku sering mendapatkan ide atau bahan pikiran baru.

Dan omong-omong kejadian tadi sore itu...

Aku menampar pipiku sendiri.

Bisa-bisanya aku tersipu dan salah tingkah hanya karena rayuan norak Peter hari ini. Dan lagi, jantungku ini bisa diam tidak, sih?

Aku menenggelamkan wajahku ke dalam air dan berteriak di sana.

Saat aku keluar 15 menit kemudian dari kamar mandi yang merangkap menjadi ruang ganti itu, Ayahku tahu-tahu sudah pulang dan duduk di kepala kursi meja makan. Aku menunduk lalu ikut bergabung dan duduk di sebelah Hansel seperti biasa.

Kami semua mulai makan. Ayah, Ibu dan Hansel larut dalam percakapan mereka, mengabaikan aku yang menunduk diam menyantap makan malamku. Keluarga ini sudah belajar dari pengalaman, Ayahku tidak suka aku bergabung dalam percakapan kecuali dia yang mulai duluan mengajakku bicara, atau makan malam ini akan berakhir dengan pertengkaran hingga perang sihir. Yah, ini lah aku, eksistensiku antara ada dan tiada dalam lingkungan keluarga sendiri. Tapi tak apa, aku pantas mendapatkan ini.

WitchnologyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang