4

26 13 2
                                    

"Hansel aku mau coba topimu!" Aku mencoba meraih topi kerucut berwarna hitam khas akademi sihir Nefaria yang saat ini bertengger di kepala Hansel. Aku sudah meminta baik-baik, tapi cowok berumur enam belas tahun itu tak kunjung memberikannya dan malah menyuruhku mengambilnya sendiri. Padahal dia tahu sendiri kalau dia itu tinggi sedangkan aku pendek.

Dasar tukang pamer.

"Ambil sendiri dong." Ia bergeming sambil melipat kedua tangannya di depan dada dan mata yang terpejam dengan sombong.

"Tidak sampai, bodoh! Kalau begitu menunduk!" Aku menarik jubahnya ke bawah memaksanya menunduk.

"Eh! Eh! Jangan ditarik!" Dia balas menarik jubahnya hingga terlepas dari genggamanku. "Makanya jangan jadi pendek dong."

"Siapa juga yang mau jadi pendek." Aku menggembungkan pipi.

"Cepat kemarikan topimu!" kataku bersikeras, lalu melompat-lompat mencoba meraih topinya lagi.

Hansel terbahak. "Hazel cebol!" cemoohnya.

Aku sudah kehilangan kesabaran. Jadi aku dengan seenak pantat melompat ke punggungnya yang ceking dan mulai memanjat, kemudian mencekik leher Hansel supaya tidak terjatuh.

"Hey! kau berat sialan!" ucapnya berteriak dengan suara yang tertahan karena ku cekik.

"Makannya jangan menghina tuan putri!"

Kuraih topi kerucut itu dari kepala Hansel dan mengenakannya di kepala, kemudian bersorak girang di atas punggung Hansel yang tengah berontak mencoba melepas cekikan tanganku dari lehernya.

Baru saja aku selesai bersorak dengan senyum mengembang, Hansel berhasil melepas tanganku dari lehernya yang seketika membuatku terjengkang ke belakang dengan tidak indahnya.

Punggungku membentur lantai kayu dan topi milik Hansel terlepas dari kepalaku. Untuk beberapa saat aku terdiam dalam posisi terlentang dengan mata berkaca-kaca dan bibir mencebik.

"Hazel, kau tak apa-apa?!" Begitu Hansel berkata begitu, aku langsung menangis kencang sambil meneriakkan kata ibu.

"Astaga, ada apa ribut-ribut?" Ibu datang dari ruang tengah dengan Ayah di belakangnya.

"Ibuuu! Hansel membuatku jatuh!" aduku masih dalam keadaan menangis sambil berguling-guling.

"Bohong! Salah dia sendiri yang naik ke punggungku! Dia juga mencekikku! Kalau aku tidak berontak, aku bakalan mati." Hansel berkelit.

Ibu membantuku untuk duduk lalu mendekap dan mengelus-elus kepala serta punggungku lembut. "Hazel, kakakmu baru datang dari akademi, jangan ganggu dia."

"Aku tidak mengganggunya! Aku cuma mau pinjam topinya, tapi dia pelit! Dia bahkan mengataiku cebol, jadi aku ambil sendiri saja," ucapku tak terima.

"Hansel, jangan bilang begitu pada adikmu! dia kan masih dalam masa pertumbuhan." Ibuku menatap Hansel tegas.

Hehehe, inilah yang aku tunggu-tunggu. Aku melirik Hansel yang tengah memasang tampang sebal lalu menyengir dan menjulurkan lidah padanya, kemudian lanjut pura-pura menangis lagi.

"Dasar ular!" bisiknya padaku.

"Hansel!" peringat Ibuku.

"Kau juga pernah pendek Hansel. Lagi pula, Hazel itu tinggi untuk anak seumurannya." Ayahku mendekat dan merangkul Hansel seperti seorang sahabat lama.

WitchnologyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang