5

26 14 4
                                    

Dua tahun lalu, saat pelajaran sihir levitasi di akademi sihir Nefaria, semua kesialanku bermula. Hari itu untuk pertama kalinya aku belajar menggunakan sihir, percobaan pertama semua orang pasti tak selalu berjalan baik, termasuk aku. Nah, masalahnya percobaan kedua, ketiga dan seterusnya hingga percobaan kesekian ratus yang sudah tak pantas lagi disebut percobaan, aku selalu gagal, begitu juga dengan sihir dasar lainnya seperti sihir pembuka. Bahkan aku gagal dalam pelajaran terbang dan ramuan, alhasil aku dinyatakan tidak naik kelas di tahun pertama akademi karena tidak lulus ujian praktek.

Dan kabar buruk itu datang lagi tahun ini, bersamaan dengan dikeluarkannya aku dari akademi karena sudah dua tahun tidak naik kelas. Dan tada! Dalam semalam orang-orang membenciku.

Aku di kurung di kamar begitu sampai di rumah tanpa diberi makan dan minum. Ayah mengata-ngataiku dan menyumpahiku untuk mati saja. Sedangkan ibuku, dia bahkan tidak ingin menatapku sama sekali. Semuanya telah berubah, tak ada lagi sosok Ayah yang lembut dan hangat, dan tidak ada lagi seorang Ibu yang membelai sambil menatapku dengan tatapan penuh kasih.

Aku tahu mereka kecewa karena banyak menaruh harapan padaku, dan aku tahu pandangan orang-orang di negeri ini terhadap orang-orang sepertiku. Aku juga kecewa pada diriku sendiri, kenapa aku begitu payah? Kenapa perkataan orang bertahun-tahun lalu tentang masa depanku yang cerah tak terwujud? Aku juga sudah berusaha berlatih siang dan malam berharap sihirku meledak dan seketika jadi sakti mandraguna, tapi kenapa itu semua tak menghasilkan apapun?

Aku mengerti. Aku mengerti Ayah dan Ibuku sudah bersusah payah meniti karir di dunia sihir dan mengangkat derajat keluarga mereka, dan aku mengerti betapa sakit hatinya mereka karena aku menghancurkan semuanya dalam semalam. Tapi aku juga tidak menginginkan ini terjadi, aku sudah berusaha. Kenapa mereka begitu cepat menghakimiku?

Terhitung, sudah hampir satu malam satu hari aku di kurung di kamar ini. Ayah memaksaku untuk berhasil melayangkan barang dengan sihir levitasi jika ingin keluar. Aku sudah mencoba, tapi semuanya tetap berakhir sia-sia.

Yang bisa kulakukan kini hanyalah terkulai lemas di atas ranjang sambil menangis tanpa suara. Mereka mencoba membuatku mati di dalam sini, dan mungkin beberapa jam lagi aku akan mati sungguhan karena kelaparan.

Perutku perih, kerongkonganku kering, dan nafasku kini sudah tersenggal. Kutatap pintu kamarku berharap seseorang membukakan pintu. Kemudian benar saja, aku melihat bayangan seseorang yang berdiri di luar pintu kamarku. Dengan segera aku bangkit dan berjalan terseok-seok lalu menjatuhkan diriku di depan pintu, dari bayangan gaunnya, sepertinya itu ibuku.

"Ibu..." kataku Parau dengan lirih.

Aku berharap Ibu masih mempunyai hati nurani untuk tidak membuatku mati kelaparan disini.

"Ibu..." Aku mulai menangis entah kenapa. Aku benar-benar butuh sosoknya yang penyayang dan pelukannya yang hangat. Dulu dia sangat khawatir bila saja aku terjatuh dan terluka, pasti sekarang pun dia tak akan tega membiarkanku mati.

"Ibu, tolong aku..." Aku menggedor pintu dengan sisa-sisa tenagaku. "Ibu salahku apa? Aku minta maaf..."

Aku terisak, aku benar-benar tidak ingin mati di sini. Aku lebih baik mati dibunuh bandit daripada keluargaku sendiri.

"Hazel?" Beliau menyahut dengan nada panik seolah baru terbangun di sebuah tempat asing.

"Ibu, tolong." Sekali lagi aku menjerit.

"Maria!" Suara ayahku menggelegar di luar sana membuatku tersentak.

"Marco, tolong keluarkan Hazel. Dia sama sekali tak bersalah." Ibuku memohon.

"Dia telah mempermalukan kita! Dia terkutuk! Apa yang akan orang-orang katakan tentang keluarga ini jika dia tetap hidup bersama kita?!"

Untuk pertama kalinya aku mendengar Ayah membentak Ibu. Rasanya sakit sekali, ribuan kali lebih sakit dibandingkan aku sendiri yang mengalaminya.

"Anakmu lebih penting daripada perkataan orang-orang!" Ibuku balas menyergah.

"Aku telah susah payah membangun karir dan membuat keluarga ini terpandang! Dan anak itu merusak semuanya!"

"Berikan padaku kuncinya!"

Suara perkelahian terdengar dari luar sana, tak seberapa lama kemudian tamparan keras menggema disusul dengan ringisan Ibuku.

"Marco..." Nada suaranya bergetar membuatku langsung merasakan sakit luar biasa di relung hati. Kemudian kusadari, aku telah membawa kesialan lain ke dalam keluargaku.

"Ini bukan kau! Kau bukan suamiku! Kembalikan suamiku, sialan!" Ibuku menjerit parau.

Aku menggedor pintu dengan sekuat tenaga yang kubisa. "Ayah, hentikan!"

"Lihat! Lihat apa yang kau lakukan pada keluarga ini! Ini semua gara-gara kau!"

Air mataku mengalir deras tanpa bisa kutahan, Ayahku benar, ini semua gara-gara aku, seharusnya aku mati saja.

"Kau keterlaluan Marco!" Cahaya ungu khas sihir Ibuku menerobos celah di bawah pintu dari luar disusul dengan cahaya hijau sihir Ayahku dan suara ledakan ketika kedua cahaya itu bertemu.

Mereka melayangkan sihir satu sama lain selama beberapa menit. Dari mulai sihir elemen hingga sihir perubah wujud Ibu layangkan dengan membabi buta ditandai dengan banyaknya cahaya ungu yang muncul, sedangkan Ayahku tampaknya hanya menangkis serangan ibu tanpa berniat balas menyerang.

Tak seberapa lama kemudian pintu terbuka dan menghantam wajahku dengan keras, ibu menghambur masuk dan menarikku kedalam pelukan. Aku balas memeluknya dan menangis kencang disana.

Ku lirik Ayahku dengan gentar, dan ku dapati dia tengah menggenggam cahaya sihirnya siap mengarahkannya pada kami.

"Jika kau mau membunuh Hazel, bunuh aku sekalian!" Ibuku memelukku erat, bersiap jika saja Ayah benar-benar membunuh kami berdua dengan sihirnya.

Ayah menggertakkan giginya kemudian mengibaskan tangannya dan seketika pintu kamarku tertutup.

"Hazel, maafkan Ibu. Bagaimanapun keadaanmu, ibu akan selalu menyayangimu. Ibu benar-minta maaf." Ibuku mengecup pucuk kepala dan pipiku berulang kali sambil berurai air mata.

"Aku juga minta maaf. Gara-gara aku, keluarga ini dipermalukan dan Ayah dan Ibu jadi bertengkar." Aku terisak dan membenamkan kepalaku di ceruk lehernya.

"Tidak. Tidak apa-apa, mungkin inilah yang harus terjadi, kau sudah berusaha, kan? Kau hebat Hazel, Ibu selalu bangga padamu." Ia mengecup kepalaku sekali lagi, dan aku menangis lebih kencang mengeluarkan perasaan yang bercampur aduk dalam hatiku.

"Kau pasti kelaparan, ayo kita makan," ajaknya seraya melepas pelukan pada tubuhku dengan lembut.

Semenjak itu, Ibu menerima semuanya, menerimaku yang tanpa kekuatan sihir dan tidak lulus dari akademi, semenjak itu juga hubungan Ibu dan Ayah tak pernah sama lagi. Di hari itu juga, pertama dan terakhir kalinya Ibu melawan Ayah, setelahnya Ibu tak berani lagi karena Ayah semakin beringas dan tak segan-segan melukai Ibu jika melawan.

Aku memang masih diterima dalam keluarga ini, tapi semakin hari semakin banyak pertengkaran dan peraturan yang dibuat sehingga keberadaanku seolah ada dan tiada. Aku hanya bisa mematuhinya karena tak tahu lagi harus kemana jika dibuang. Lagi pula, semua ini gara-gara aku.

WITCHNOLOGY

Diketik: 21 Februari 2022
@hiloafffyou, 1036 kata.

A/N: Sebuah chapter gaje lainnya^_^ gapapa lah, kalo ada yang baca ya syukur kalo ngga ada ya gapapa sih, palingan nangis.g

By the wayyy, chapter selanjutnya udah bukan flashback lagi:3

Halo! Terimakasih sudah mampir dan baca work-ku^^ nih lope ( ^∀^)💗
Semoga suka yaa!

Jangan lupa tinggalkan jejak apapun itu. vote, comment, kritik-saran, tambahkan ke perpustakaan, supaya cerita ini bisa lanjut^^

WitchnologyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang