Dulu, saat umurku masih lima belas tahun, aku pergi ke pasar untuk membeli sayur dan buah-buahan karena disuruh ibu. Kemudian aku menemukan seorang pemuda yang tampak lebih tua dariku, dia sedang menurunkan karung-karung gandum dengan tangannya dari kereta kuda, sebuah pemandangan yang asing kalau di Nefaria. Dan saat itu, bisa kusimpulkan kalau dia adalah kaumku--kaum penyihir yang tidak bisa sihir.
Dia sedang menurunkan karung-karung dengan biasa, namun yang sedikit mengganggu adalah si pemilik kedai dan putranya yang sedang memperhatikan si pemuda sambil mengolok-oloknya.
Meskipun aku merasa tidak nyaman dan seluruh pusat indra pengelihatan serta pendengarku tertuju pada mereka bertiga, aku tetap diam saja karena malas berurusan dengan masalah orang lain. Namun, kemudian di pedagang dan putranya mempermainkan si pemuda dengan menerbangkan uang bayarannya tinggi-tinggi, dan yang lebih mengganggu lagi si pemuda hanya mendesah pasrah dan sesekali berkata, "Oh, ayolah kemarikan." Dengan lemas. rasanya seluruh badanku gatal mendengarnya. Ingin sekali aku berteriak "AYO! TONJOK! AYO!"
Pemuda itu berdecak. "Kumohon, kemarikan," katanya lagi. Benar-benar seperti tidak punya semangat hidup. Yah, walaupun sebenarnya orang-orang sepertiku kebanyakan memang tidak punya semangat hidup--aku contohnya, tapi setidaknya aku bakalan mengamuk kalau ada yang mempermainkan dan mengolok-olokku seperti itu.
Tak puas dengan respon si pemuda, si pemilik kedai dan putranya mengata-ngatai si pemuda dengan perkataan yang menyakiti hati, bahkan mereka berkata kalau si pemuda seharusnya mati saja. Saat mendengarnya, jantungku berhenti berdetak untuk sesaat, kemudian berdetak lagi dengan rasa sakit yang menyesakkan. Aku jadi teringat kata-kata Ayahku.
Baiklah, sebelum aku mati karena tubuhku gatal ingin meninju dan menendang manusia, aku menghampiri mereka bertiga.
"Halo tuan aku mau beli empat karung wortel," ucapku pada si pemiliki kedai sesaat setelah menempatkan diri di tengah-tengah mereka.
"Oh, Ya-ya, silahkan!" ucap si pemilik kedai girang, ia kemudian segera menjatuhkan kantung berisi uang bayaran si pemuda tanpa peduli apapun lagi.
"Maaf tidak jadi!" Aku memungut kantung itu dengan cepat kemudian menarik lengan si pemuda dan berlari menjauh secepat kilat.
SEMUDAH ITU, LHO!
"Apa yang kau lakukan?" tanyanya panik, namun kakinya bergerak menyesuaikan tempo dengan langkahku.
Aku menghentikan langkah karena merasa sudah cukup jauh dan si pemilik kedai tidak marah dan mengejar kami berdua.
"Membantumu." Aku mengedikkan bahu.
"Nih," kataku lagi sambil meletakkan kantung yang tadi dipungut, ke telapak tangan pemuda itu.
"Terima kasih, tapi... keretaku?" Dia menatap jalur yang tadi kami lalui.
"Oh iya!" Aku menepuk dahi. "Jadi bagaimana? Kau akan kembali ke sana?"
"Tentu saja," jawabnya santai.
"Pasti akan jadi canggung sekali." Aku meringis kecil dan menggaruk tengkuk. "Maaf."
"Tak apa, malah aku sangat berterima kasih." Pemuda itu tersenyum simpul.
Dari situ kami beberapa kali bertemu lagi dan saling sapa, kemudian lanjut berkenalan dan ku ketahui namanya Peter, setelah itu dia mengajakku ke peternakan Jerome dan berkenalan dengan orang lain yang sama sepertiku. Kami punya hobi yang sama, yaitu membaca buku dan menatap bintang, kami sering membaca koleksi bukunya bersama, kami saling melengkapi dan menguatkan, aku jarang merasa sedih dan Peter kembali mendapatkan rona kehidupannya, hingga akhirnya kusadari kalau aku jatuh cinta padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Witchnology
FantasyWITCHNOLOGY (SELESAI) [fantasy - adventure - teenfiction] Hidup dikelilingi sihir dan keajaiban bukanlah hal yang menakjubkan lagi bagi Hazel. Itu adalah sebuah penderitaan, karena kenyataannya dia tidak bisa menggunakan sihir di negeri yang hampir...