3

25 11 1
                                    

Aku di atap sampai pagi menjelang. Setelahnya, aku membereskan bekas kekacauan yang kubuat semalam, aku benar-benar mengamuk tanpa suara saat itu.

Membereskan tempat tidur, menempatkan kembali meja ke tempatnya semula, membuang kertas yang ku robek, semuanya kulakukan dalam kurun waktu satu jam. Setelah itu aku mandi dan mengemasi barang-barang dan bajuku ke dalam koper.

Aku sedikit merias wajah dengan bedak untuk menutupi kantung mataku dan sedikit menggunakan perona bibir, aku juga mengenakan gaun terbaikku--entah untuk apa. Aku hanya merasa perlu melakukan itu.

...

Aku melakukan acara sarapan pagi terakhirku di rumah ini dengan normal. Semuanya tampak biasa saja seolah tak terjadi apa-apa meskipun Ibuku tampak lesu dan sesekali terlihat melamun, aku harap itu karena memikirkanku.

Aku cukup mengerti dengan Ibu, menurutku setiap ibu tak akan pernah membenci dan sanggup berpisah dengan anaknya meskipun ia gagal, segagal-gagalnya. Tapi aku juga tahu kalau ibuku tak bisa berbuat apa-apa karena takut dengan Ayah, bahkan beliau tidak bisa bertengkar dengan Ayah atau mungkin sekedar berbicara, "Dia anakmu, Marco! Kau keterlaluan!" Lalu,

Plak!

Dia benar-benar tidak bisa. Apalagi Hansel.

Ayahku telah berubah semenjak ia mengetahui kalau aku tidak bisa menggunakan sihir dan dikeluarkan dari akademi. Bukan hanya Ayahku, tapi juga keluargaku, semuanya berubah total semenjak itu, tidak ada keluarga yang harmonis lagi, dan kami kehilangan seorang Ayah yang hangat dan penuh kasih sayang. Dan entah kenapa sekarang aku berpikir, mungkin dengan kepergianku dari keluarga ini, mereka akan kembali seperti dulu.

Aku berkaca sekali lagi sebelum pergi, lalu memandangi kamarku untuk terakhir kalinya. Rasanya mengharukan mengingat aku menempati kamar ini sejak usia tujuh tahun, dan aku ingat sekali saat minggu pertama aku tidur sendiri, Ayah harus menemani dan menceritakan sebuah kisah hingga aku tertidur setiap malam. Masa-masa sebelum si kepala sekolah gondrong berjanggut panjang itu berkata aku dikeluarkan dari sekolah karena sudah dua tahun tidak naik kelas.

"Kau benar-benar akan pergi?" tanya Hansel yang entah sejak kapan berada di belakangku. Saat aku meliriknya, dia seperti biasa berada di ambang pintu, namun kali ini ia memasang tampang memelas yang jelek.

"Ya," kataku datar.

Keheningan dan kecanggungan menyelimuti kami berdua sebelum akhirnya dia berujar lagi.

"Aku akan menikah." Dia menunduk dan menghela nafas berat, sepertinya dia akan menangis.

Aku mengedikkan bahu. "Tidak ada yang bertanya."

"Ayah bilang akan menjodohkanku dengan putri seorang temannya yang kaya raya." Hansel tetap melanjutkan dan memilih menghiraukan kalimat sarkastisku.

"Kalau begitu selamat." Aku membawa koperku dengan tangan kanan dan hendak melewati Hansel untuk menghindari percakapan omong kosong ini. Namun, Hansel menahan lenganku.

"Maaf, Hazel," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

Aku terdiam.

Akhirnya, kata itu ia ucapkan padaku, tapi satu kata itu tentu saja tak dapat menghapus semua rasa sakit hatiku.

"Aku minta maaf karena tak bisa berbuat apa-apa." Suaranya berubah parau yang entah kenapa membuatku merasakan rasa sakit dan marah secara bersamaan.

Aku melepas lenganku dengan paksa dan hendak berlalu, namun lagi-lagi Hansel menahanku. Kali ini dia mendekapku--mendekapku dengan erat sekali.

Inilah yang aku butuhkan selama bertahun-tahun dan tak pernah aku dapatkan. Sekarang aku mendapatkannya, dari seorang kakak yang selalu menerimaku tak peduli sepayah apapun diriku. Seketika hatiku luluh dan meminta untuk tetap tinggal.

WitchnologyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang