16. Badmood

705 128 3
                                    


.
.
.
.
.
Radi tidak tau harus melakukan apa saat ini, setelah bundanya Regis melepas pelukannya tadi, saat ini Radi harus duduk berhadapan dengan kakak kandung Regis yang sedari tadi hanya menatapnya tanpa berbicara, sedangkan Regis hanya bisa diam disebelah sang kakak.

"Nama kamu Radi?" Radi sedikit terkejut mendengar pertanyaan tiba-tiba dari laki-laki tinggi dihadapannya itu. Radi mengangguk sebagai jawaban, netranya juga sesekali melirik kearah Regis yang masih saja menatapnya dengan tatapan bersalah.

"Iya, nama saya Radi." Tirta menghembuskan nafasnya saat kembali mendengar suara Radi. Dadanya tiba-tiba terasa sesak karena rindu.

"Saya Tirta, abangnya Regis, kamu jua bisa panggil saya abang kalau mau, gak usah terlalu formal." Radi tertegun, segampang itu orang dihadapannya memintanya memanggil abang.

"Ah iya bang."

"Maafin bunda kita tadi ya, beliau terlalu rindu dan ngerasa bersalah sama salah satu saudara kami, dia mirip banget sama kamu." Regis melirik kearah Tirta yang mengucapkan hal itu, apa lagi saat Radi memberikan senyum lembut.

"Gak papa bang, saya ngerti kok, Regis juga sudah pernah cerita soal itu." Tirta sontak menatap Regis yang ada disebelahnya sebelum menghela nafas panjang.

"Makasih udah nganterin Regis semalem, jadi sekarang kalian mau kekampus?" Radi dan Regis mengangguk.

"Iya bang, kita mau kekampus, gue ada kuliah jam 10." Regis menatap jam tangannya, masih 8.30 ternyata.

"Saya titip Regis kalau dikampus ya, kalau dia bandel geplak aja kepalanya." Radi tersenyum canggung mendengar ucapan Tirta, terutama saat Tirta dengan sengaja tidak menghiraukan gerutuan Regis.

"A-ah iya bang, saya pasti jagain Regis." Regis yang tau bahwa Radi sudah tidak nyaman dengan cepat mengajak Radi untuk berangkat kekampus. Sebelum Tirta mengatakan hal-hal aneh lagi.

"Bang, kita berangkat sekarang aja yuk, lo pasti udah ditungguin sama yang lain." Radi mengangguk mendengar ajakan Regis. Remaja itu cukup peka ternyata.

"Ah iya, kalau gitu kami pamit berangkat dulu ya bang." Tirta tersenyum dan mengangguk. Netranya mengikuti langkah kedua pemuda berbeda usia itu hingga hilang dibalik pintu.

"Bang Radi, maafin gue ya, harusnya gue gak minta lo mampir tadi." Radi berbalik dan menatap Regis yang berhenti dibelakangnya. Tangannya tanpa sadar sudah mengusak rambut Regis sambil tersenyum menenangkan.

"Gak usah minta maaf, cepet atau lambat mereka juga pasti bakal tau gue Gis, gue gak masalah, kan gue udah bilang berkali-kali sama lo." Regis masih menunduk, dia benar-benar merasa tidak enak pada Radi.

"Lo gak bakal jauhin gue kan bang?" Radi mengernyit mendengar ucapan lirih Regis.

"Kenapa gue harus jauhin lo?" Regis menatap Radi yang masih saja tersenyum lembut.

"Gue tau, pasti gak nyaman dianggep orang lain bang." Regis mengernyit saat mendengar kekehan Radi.

"Beberapa orang mungkin belum biasa Gis, tapi nanti pasti bakal berubah. Sama kayak lo yang gak anggep gue sepupu lo kan?" Regis mengangguk kecil. Sedikit bersyukur karena Radi bukan orang yang mau berpikir rumit.

"Bang, jangan heran ya kalau setelah ini gue bakal serimg nyampein salam dari bunda gue ke lo." Radi kembali tertawa, kali ini sedikit kencang.

"Gue udah gak heran lagi Gis kalau ada orang yang tiba-tiba manggil gue Fares." Kali ini Regis ikut tersenyum pada Radi. Hanya sebentar karena setelah itu Regis langsung cemberut.

"Ya iyalah bang lo gak bakal heran, nama depan lo kan juga Fares!" Radi kembali mengacak rambut hitam Regis.

"Udah ayo masuk, kita berangkat. Gue gak mau dengerin omelan Vito sama Alvin yang selalu bikin gue pingin ngumpat." Regis menuruti permintaan Radi untuk segera masuk kedalam mobil.

Janji?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang