18. Pertemuan

677 123 1
                                    


.
.
.
.
.
Radi memang mengajak Regis turun kelantai satu, beruntung tidak ada orang yang menyadari kehadiran keduanya. Semua yang ada dilantai satu masih sibuk untuk mengucapkan selamat pada Abi dan Alia.

Regis sama sekali tidak melepaskan pandangannya dari sosok Radi yang berdiri dengan tangan terkepal. Dia tidak tau apa yang membuat Radi mengepalkan tangannya, tapi jika dilihat dari ekspresi pemuda mungil itu, Radi sedang gelisah saat ini.

"Bang, lo gak papa?" Regis bisa melihat Radi menghela nafas panjang sebelum mengangguk.

"Gak papa Gis, cuma rame banget. Lo mau kesana?" Regis memandang wajah Radi yang terlihat tenang sekarang. Sepertinya Regis baru paham jika Radi sangat hebat jika menyembunyikan perasaannya.

"Gue ngikut lo aja deh bang." Radi terkekeh pelan.

"Kestudio gue aja ya, nanti kalau udah agak sepi aja kita kesana." Regis mengangguk. Remaja itu membawa langkahnya mengikuti Radi yang sudah berjalan kearah belakang rumah.

Regis melongo saat Radi mengajaknya masuk kedalam salah satu ruangan yang ternyata adalah studio milik pemuda mungil itu.

"Bang, gue kira lo bercanda waktu bilang studio tadi." Radi tertawa mendengar ucapan Regis.

"Emang waktu itu gue gak ajak lo masuk sini ya?" Regis menggeleng dengan wajah cemberut.

"Waktu itu kan kita kesini cuma buat main basket bang, sama liat kamar lo sebentar." Regis semakin cemberut saat twa Radi semakin kencang.

"Ya kan gue lupa mau ngajak lo kesini waktu itu."
.
.
.
.
.
Diruang tamu yang tengah disulap menjadi tempat pelaksanaan acara sakral itu, Alia terlihat tengah mengobrol dengan Ita, ibu dari suaminya. Beberapa undangan juga tampak masih mengucapkan selamat sebelum memutuskan pamit. Memang acara hari ini bukan acara besar, karena baik Abi maupun Alia tidak ingin mengadakan pesta.

"Alia, anak kamu mana? Ibu pingin tau gimana cucu ibu itu." Pertanyaan dari sang mertua membuat Alia mengedarkan pandangannya. Dia baru sadar jika sedari tadi dia sama sekali tidak melihat Radi berada dilantai satu.

"Sepertinya dia diatas bu, sebentar biar Lia panggil." Lia baru saja akan beranjak naik kelantai dua saat dia berpapasan dengan sosok tinggi Wira.

"Mau kemana bun?" Alia tersenyum menatap anak sahabatnya itu.

"Mau manggil Radi, undangan udah pulang, tinggal keluarga aja, mereka pingin tau dan kenal Radi." Wira mengangguk mendengar jawaban Lia.

"Bunda disini aja, biar aku yang panggil Radi." Alia tersenyum lembut pada Wira.

"Ya udah tolong ya Ra." Wira mengangguk dan membalas senyum Lia. Setelah Lia kembali menghampiri keluarga Abi, Wira membawa langkah kakinya kearah belakang, kestudio Radi.

Cklek

Suara pintu studio yang terbuka berhasil mengalihkan perhatian Regis dan Radi yang ternyata sedang sibuk menonton pertandingan basket.

"Gue kira ngapain kalian berdua, ternyata nonton basket." Bukan hal aneh melihat Wira bebas keluar masuk ruangan dirumah Radi. Karena sama seperti Radi yang dianggap anak sendiri oleh orang tua Wira, Wira pun sudah dianggap anak oleh Alia.

"Mau gabung bang?" Wira menggeleng menatap dua orang yang baru mengenal namun seperti sudah mengenal bertahun-tahun.

"Lo dicariin bunda tuh Sam." Ucapan Wira sukses membuat Radi menghela nafas panjang. Hal itu semakin membuat Regis merasa aneh.

"Udah sepi belum?" Wira tau, dibalik raut tenang Radi saat ini, pemuda mungil itu pasti ingin sekali lari agar tidak bertemu dengan ayah tirinya.

"Udah pulang semua, tinggal orang tua gue sama keluarga ayah baru lo." Wira sebenarnya ingin tertawa saat Radi memasang tampang melas.

Janji?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang