19. Paksaan

692 121 3
                                    


.
.
.
.
.
Radi menatap tajam pada sang bunda yang baru saja masuk kedalam kamarnya. Setelah kejadian tadi siang, Radi memang memilih berada didalam kamar setelah Regis dan keluarganya pulang, begitu pula Wira. Saat ini hanya ada Alia, Abi juga Raefal yang sudah resmi menjadi keluarganya saat ini.

"Radi." Radi bergeming dengan posisi tetap berbaring diatas ranjang, tanpa niat untuk merubah posisinya.

"Nak, dengerin bunda ya." Alia mendudukan dirinya dipinggir ranjang Radi, tangannya mengelus rambut hitam putranya itu.

"Ikut bunda pindah kerumah ayah Abi ya nak?" Bukannya menjawab, Radi justru memiringkan tubuhnya, memunggungi sang bunda.

"Radi, gak ada salahnya kamu ikut tinggal disana nak, kan deket rumah Regis, ada Raefal juga disana." Radi yang sudah lelah mendengar paksaan bundanya tentang ikut pindah kerumah ayah barunya itu, akhirnya berbalik dan membuka suara.

"Bunda udah janji sama aku buat gak maksa aku tinggal sama mereka!" Alia menghela nafas saat Radi berucap dengan menatap tajam kearahnya. Putranya itu tengah marah, tapi dia sudah berjanji pada suami dan mertuanya untuk mengajak Radi tinggal disana.

"Tapi nak-" Alia tidak sempat meneruskan ucapannya karena Radi sudah beranjak dari ranjang.

"Cukup bun, bunda tau aku gak suka dipaksa, dan aku tetap gak mau tinggal sama mereka." Alia menatap sendu pada Radi yang tampak sangat tertekan saat ini.

"Apa yang buat kamu gak mau? Ayah Abi itu beda sama Ayah kandung kamu nak." Radi menggeleng pelan.

"Gak ada yang bisa jamin itu bun, gak bunda, gak juga om Abi. Gak ada yang bisa jamin kalau om Abi gak akan perlakuin aku kayak ayah!" Alia langsung beranjak memeluk tubuh mungil Radi yang bergetar. Seharusnya Alia ingat dia tidak seharusnya mengungkit tentang mantan suaminya dihadapan Radi.

"Maafin bunda, maaf..." Alia bisa merasakan pundaknya basah, Radi tengah menangis didalam pelukannya.

"Jangan paksa Radi bun, tolong." Alia mengangguk saat mendengar suara lirih Radi.

"Iya bunda gak akan maksa kamu lagi, maafin bunda nak."
.
.
.
.
.
Abi menghela nafas saat mendapat gelengan dari Alia saat perempuan itu masuk kedalam ruang makan. Alia tadi memang mengatakan akan kembali membujuk Radi untuk tinggal bersama mereka.

"Kenapa dia tetap nolak Li?" Alia tersenyum sendu mendengar pertanyaan Abi. Perempuan itu menatap Abi juga Raefal yang tengah memperhatikannya.

"Radi gak bisa tinggal dengan laki-laki dewasa mas, apa lagi yang dia panggil ayah, dia punya trauma soal itu." Abi memejamkan matanya. Mengingat bagaimana wajah Radi yang tampak tenang tadi siang juga raut ketakutannya tadi sore membuat Abi merasa bersalah.

"Bun, kalau bang Radi gak mau jangan dipaksa, Efal takut nanti bang Radi justru gak nyaman." Ucapan lirih Raefal membuat Abi dan Alia terdiam.

"Maaf ya Fal, harusnya bunda bisa bikin abang kamu itu tinggal bareng kita." Raefal tersenyum dan menggeleng kecil pada Alia.

"Mau tinggal bareng atau gak, sekarang abang Radi udah jadi abang Efal bun." Abi ikut tersenyum saat melihat senyum milik Raefal.

"Maaf ya mas, aku gak bisa kabulin permintaan ibu buat ajak Radi tinggal disana." Abi menepuk tangan Alia pelan.

"Gak papa, nanti biar mas yang kasih pengertian ke ibu, kamu tenang aja." Alia tersenyum sendu, tapi bagaimana lagi, dia juga tidak mungkin memaksa Radi lagi.

"Aku masih gak nyangka kalau Radi semirip itu sama anak kamu mas."
.
.
.
.
.
Regis tampak termenung menatap langit-langit kamarnya, setelah pulang dari rumah Radi tadi, dia memang hanya berdiam diri didalam kamar. Dia masih memikirkan penjelasan singkat Wira tentang Radi tadi.

Janji?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang