44. Marah besar

600 109 22
                                    


.
.
.
.
.
Raefal berdiam menunggu Radi didepan rumah selama berjam-jam. Tidak peduli jika tubuhnya mulai kedinginan atau peringatan khawatir pak Mun dan bi Maya, dia hanya ingin bertemu Radi dan meminta maaf. Dia tidak ingin kehilangan Radi, seperti dia kehilangan Fares.

"Abang maafin Efal." Raefal bergumam lirih, sejak Radi pergi tadi Raefal memang hanya bergumam kata maaf.

"Den masuk yuk, nunggu den Radinya didalem aja." Raefal menggeleng, dia ingin menjadi yang pertama melihat Radi saat pemuda itu pulang.

"Efal mau nunggu bang Fares bi." bi Maya menatap sendu pada Raefal, beliau tidak tau apa yang sebenarnya terjadi pada dua majikannya itu.

"Iya nunggu didalem ya, nanti den Raefal sakit kalau terus diluar, kalau den Raefal sakit, den Raefal gak bisa nunggu den Radi." Raefal akhirnya mengangguk, dia menurut saat bi Maya membawanya masuk kedalam rumah.

"Bi, bang Fares marah sama Efal bi." bi Maya memeluk Raefal, sudah lama beliau tidak melihat Raefal seperti ini sejak remaja itu mulai ikhlas pada kepergian Fares.

"Nanti den Radi pasti udah gak marah sama den Efal kalau pulang, den Efal istirahat aja dikamar ya." Raefal hanya bisa mengangguk, dia sudah lelah, tapi dia akan tetap menunghu Radi pulang kerumah itu.

"Bang Fares maaf, jangan tinggalin Efal lagi."
.
.
.
.
.
Tirta menatap Radi yang tertidur dipelukan Dery lekat. Pemuda mungil itu tiba-tiba mengubah tujuannya tadi, memintanya mengantar kealamat rumah sang sabahat Dery, beruntung Wira juga ada disana saat itu. Tirta sempat tidak percaya saat Radi mengadu sambil menangis pada Dery.

"Pertama kali ya liat Sam nangis?" Tirta mengangguk, dia menghela nafas dan melirik kearah Wira.

"Sam bakal nangis dan ngadu kalau dia udah terlalu marah, lo tau kan dia gak bisa denger bentakan atau kemarahan, jadi bentuk marah dia kayak gitu tadi." Tirta mengangguk, dia sudah tau tentang ketakutan Radi.

"Kalian kayaknya gak kaget waktu Radi ngadu soal Raefal, kalian udah tau?" Wira mengangguk.

"Kita udah tau tadi pagi, tapi kita sengaja gak bilang ke Sam dan nunggu dia tau sendiri. Sam gak akan semudah itu percaya sama omongan orang, bahkan kami yang udah temenan dari kecil sama dia." satu hal lagi yang Tirta tau soal Radi dari Wira.

"Biarin Sam disini dulu bang, dia gak akan mau ketemu Raefal kalau kayak gini keadaannya." Tirta kembali mengangguk, dia juga marah pada Raefal saat ini. Bagaimana mungkin sepupunya itu tega menghapus tugas Radi, sedangkan dia sendiri tau bagaimana kakak nya itu mengerjakan tugasnya.

"Biarin dia tenang dulu disini kalau giti, gue juga gak bisa maksa dia balik kerumah itu kalau dia gak mau." Wira menepuk pundak Tirta dan tersenyum.

"Makasih udah ngertiin Sam ya." Tirta tersenyum tulus.

"Radi jauh lebih mudah dipahami daripada jenis obat Ra." Wira tertawa pelan saat Tirta membandingkan Radi dengan jenis obat, dasar dokter.

"Lo suka ya sama Sam?" Tirta kembali tersenyum.

"Keliatan ya?" Wira dan Dery mengangguk kecil, membuat Tirta tertawa malu.

"Iya gue suka."
.
.
.
.
.
Bi Maya kalang kabut, pagi ini saat akan membangunkan Raefal, beliau justru menemukan Raefal tergeletak pingsan didepan balkon kamarnya. Sepertinya remaja itu menunggu Radi hingga tubuhnya sendiri menolak untuk menunggu.

"Aduh den Radi kemana ya?" bi Maya sebenarnya ingin menghubungi Radi tapi dia bahkan tidak memiliki nomor ponsel pemuda itu.

"Kalian berantem karena apa sih den? Kok sampai den Radi ninggalin rumah." bi Maya sama sekali tidak tau tentang Raefal yang menghapus tugas kuliah Radi.

Janji?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang