05. Mengenal

857 146 4
                                    


.
.
.
.
.
Regis mengernyit heran saat Radi membawanya pergi dari kampus dengan mobilnya, dia bahkan harus menitipkan motor kesayangannya pada satpam kampus. Jika saja bukan Radi yang mengajaknya Regis pasti tidak akan mau meninggalkan motor kesayangannya itu.

"Bang, kita mau kemana?" Regis yang sedari tadi hanya menatap wajah Radi akhirnya bertanya.

"Lo mau nya kemana? Gue bakal anterin lo kemana pun lo mau, anggep aja salam perkenalan dari gue." Regis mengerjap saat Radi mengatakan hal itu. Seingatnya, selama tiga hari dia mencari tahu tentang Radi, banyak sumber mengatakan Radi itu kutub utara berjalan, karena terlalu dingin dan susah didekati. Tapi lihat saja apa yang sedang Regis lihat, Radi sangat welcome padanya.

"Lo bisa main basket gak bang?" Regis tetap memperhatikan ekspresi wajah Radi saat dia menanyakan itu.

"Lo pingin main basket? Kerumah gue mau gak? Gue biasa main basket dihalaman belakang rumah gue, gimana?" Regis semakin mengerjap takjub, bagaimana mungkin Radi menawarinya main kerumahnya saat mereka baru saja mengenal tadi pagi.

"Kalau bang Radi gak keberatan ngajak gue mampir kerumah lo bang." Radi tertawa saat mendengar jawaban Regis, bagaimana bisa dia keberatan saat dia sendiri yang menawarkan.

"Ok kalau gitu kita kerumah gue, ntar gue temenin main basket." Regis mengangguk antusias karena hal itu.

"Bang, kenapa lo baik sama gue?" Radi mengernyit bingung akan pertanyaan Regis, meskipun dia sedang fokus menyetir.

"Emang perlu alasan buat baik sama orang lain?" Radi melirik Regis yang menggeleng setelah mendengar jawabannya.

"Gue bukan orang jahat, gue juga bukan orang yang sombong yang gak mau kenal sama sama orang lain. Gue cuma males interaksi aja." Regis terdiam mendengar jawaban Radi.

"Tapi lo interaksi sama gue bang." Radi tertawa setelah mendengar nada merajuk dari Regis.

"Ya mungkin karena lo satu-satunya adek tingkat yang berani deketin gue karena kangen sama abang lo, bukan karena mau nyatain sesuatu atau cuma butuh sesuatu." Regis menatap bingung pada Radi saat pemuda itu mengatakan hal itu.

"Kalau ternyata gue punya maksud lain gimana bang?" Radi kembali tergelak.

"Ya gue tinggal jauhin lo, gue mah gak mau ribet Gis, lo baik ke gue ya gue bales baik, kalau lo punya niat jahat ke gue ya gue bakal jaga jarak sama lo, simple kan." Regis berdecak takjub mendengar pemikiran Radi yang anti ribet.

"Wah, lo keren bang, jadi abang gue mau gak?" Regis cemberut saat Radi justru tertawa kencang.

"Dengan gue ijinin lo manggil gue abang, lo bebas anggep gue apapun, ayo turun." Regis lagi-lagi dibuat mengerjap takjub oleh Radi. Dia bahkan tidak sadar jika mobil milik Radi sudah berhenti dihalaman sebuah rumah mewah.

"Rumah lo gede bang." Regis menatap kagum pada rumah Radi.

"Bukan rumah gue, ini rumah nyokap gue, ayo masuk lah." Regis hanya bisa mengikuti langkah kaki Radi masuk kedalam rumah.

Semua yang ada dirumah Radi cukup membuat Regis berdecak kagum. Meskipun mewah tapi rumah Radi tampak sederhana dan hangat. Tidak seperti rumahnya yang sudah kehilangan kehangatan sejak dua tahun lalu.

"Gis, tunggu sini bentar, gue mau ambil minum." Regis mengangguk saat Radi meninggalkan nya sendirian diruang keluarga. Regis mengamati sekelilingnya, hingga netranya jatuh pada sebuah lemari kaca berisi banyak sekali foto-foto anak laki-laki yang dipercaya Regis sebagai Radi, mulai dari bayi hingga dewasa.

"Jangan serius gitu ngeliatinnya, ntar lo jatuh cinta sama gue bahaya." Regis mencibir saat Radi berucap, laki-laki mungil itu berdiri disebelah sofa dengan tangan membawa nampan berisi minuman juga beberapa cemilan.

"Lo lucu waktu bayi bang." kini giliran Radi yang mencibir Regis.

"Udah, ayo kebelakang!" Radi berjalan mendahului Regis, dia kesal, kenapa setiap orang yang melihat foto masa kecilnya selalu mengatakan dia itu lucu.

"Lah, kok ngambek?"
.
.
.
.
.
Regis benar-benar dibuat terpaku oleh hal-hal yang dilakukan Radi saat bermain basket tadi. Cara Radi bermain basket mengingatkan Regis pada Fares, mirip, meskipun sifat keduanya berbeda.

"Bang, lo kayaknya suka merendah ya?" Regis meminum air mineralnya sambil menatap Radi.

"Merendah gimana?" Regis ingin sekali merekam permainan basket Radi tadi dan menunjukannya pada pemuda mungil itu.

"Lo bilang lo gak jago main basket!" Radi akhirnya tertawa kencang saat mendengar ucapan kesal Regis.

"Gue emang gak jago, gak sejago bang Wira, tapi minimal gue pernah jadi anak basket waktu sma." oh tolong ingatkan Regis untuk tidak mengumpat dihadapan Radi.

"Bodoh deh bang." Radi kembali tertawa, tapi kali ini tangannya secara spontan mengacak rambut Regis, dan hal itu membuat Regis terdiam.

"Bang Fares." Radi mengernyit mendengar nama yang digumamkan Regis.

"Lo tau nama depan gue Gis?" Regis yang semula teringat Fares langsung merubah raut sedihnya menjadi senang.

"Tau lah bang, ya masa gue gak tau sih." Radi mencibir.

"Terus kenapa lo manggil Fares tadi, lo mau manggil gue pake nama itu?" Radi menatap Regis yang sepertinya sedang berfikir.

"Gue pinginnya manggil lo pake nama yang gak pernah dipanggil orang lain, biar spesial." Radi mengangguk.

"Ya udah panggil Radi aja, karena nyatanya cuma bunda gue yang manggil gue Radi, jadi itu panggilan cukup spesial." Regis mengernyit bingung. Tadi pagi Radi meminta nya memanggil nama tengahnya, sekarang dia bilang bahwa nama itu jarang dipanggil oleh orang kecuali ibunya.

"Terus temen-temen lo bang?" Radi mendudukan dirinya disamping Regis.

"Lo tau sendiri gimana mereka manggil gue tadi, mereka manggil gue Sam atau Samudera. Kalau temen seangkatan atau kakak tingkat biasanya manggil Faresta." Radi menjelaskan secara singkat namun lengkap.

"Itu yang mau gue tanyain bang, nama lo gak ada Samudera nya kok dipanggil begitu?" Radi mendengus kesal saat mengingat awal mula mereka memanggilnya Sam.

"Gara-gara kegiatan kampus ke pantai waktu semester satu. Ya bang Wira sama Alvin noh pelopornya." Regis sedikit tertawa saat Radi menggerutu kesal.

"Lo bisa berenang bang?" Radi mengangguk kecil.

"Gue suka diving, gue suka laut lah pokoknya." Regis hanya mengangguk. Dia senang karena mengenal lebih dekat dengan Radi.

"Bang, gue kesini tadi sama lo kan? Terus nanti gue baliknya harus ke kampus dulu?" Radi tampak berfikir sejenak.

"Rumah lo mana sih?"

"Perumahan Star no 17 bang." Radi mengangguk paham.

"Nanti langsung gue anter ke rumah lo aja, besok gue jemput kalau kekampus, gimana?" Regis mengangguk senang, kapan lagi bisa membawa Radi kerumahnya.

"Eh tapi bang emang rumah kita searah?" ingin sekali Radi menggeplak kepala Regis.

"Lo ngelamun ya waktu perjalanan kesini? Kita kan tadi ngelewati perumahan star Gis. Rumah gue ini di komplek aurora, beda 10 blok sama rumah lo." lagi-lagi Regis melongo tidak percaya.

"Kok gue gak pernah lihat lo didaerah sekitar sih bang?" Radi mengedikan bahunya.

"Sejak kapan daerah sini aman buat pejalan kaki?" jawaban Radi membuat Regis mengangguk paham.

"Iya juga ya bang, mending nyari aman." Regis menatap heran pada Radi yang tiba-tiba terdiam.

"Bang gue boleh peluk lo lagi gak?" kali ini Regis menunggu respon Radi tidak seperti tadi pagi.

"Sini." Radi membuka tangannya, membiarkan Regis menghampur kedalam pelukannya.

"Makasih bang, makasih banyak." Radi tersenyum mendengar ucapan Regis.

"Sama-sama dek."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.
Lanjut atau gak?

Janji?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang