37. Martabak manis keju

466 101 5
                                    


.
.
.
.
.
Sudah satu minggu Tirta selalu menyempatkan mengantar dan menjemput Radi saat kuliah, hal itu membuat Regis selalu menggoda Tirta setiap laki-laki itu pulang, ditambah Radi yang selalu mengiyakan ucapan Tirta. Ayolah siapapun yang mengenal Radi pasti tau jika pemuda mungil itu selalu menolak tawaran antar jemput kecuali dalam keadaan terdesak, bahkan oleh Wira yang notabennya adalah sahabat nya sejak kecil. Tapi berbeda saat Tirta yang menawarkan hal itu, Radi dengan senang hati mengiyakan tawaran itu, tanpa menolak sedikitpun.

Satu minggu mengenal Radi lebih dekat membuat Tirta tau jika Radi memang sulit ditebak, pemuda mungil itu juga memakan apapun yang diberikan oleh Tirta, beruntung Tirta sudah mengetahui dari Regis tentang apa saja yang disukai Radi.

"Kamu mau makan dulu Di?" Radi yang semula fokus pada ponselnya langsung menatap kearah Tirta. Lagi-lagi Tirta menyempatkan diri menjemput Radi dikampus, padahal hari ini Radi bisa pulang bersama Regis.

"Abang laper?" Tirta mengangguk kecil, membuat senyum tipis terlukis diwajah Radi.

"Ya udah, makan dulu aja bang, bang Tirta mau makan apa?" Tirta mengangguk.

"Kamu suka sate kan Di?" Radi mengangguk antusias, hal itu membuat Tirta tertawa kecil.

"Ada sate enak dideket klinik ku, gak keberatan kalau kesana kan?" Radi menggeleng, selama itu sate dia tidak akan pernah menolak.

"Abang kok bisa tau apa yang aku suka sih?" Tirta hanya tersenyum tipis.

"Aku bahkan tau apa aja yang kamu benci." jawaban Tirta sukses membuat Radi melongo.

"KOK BISA?!"
.
.
.
.
.
Raefal menghela nafas kasar saat Gevan mengatakan padanya bahwa Radi sudah pulang. Akhir-akhir ini dia tidak punya banyak waktu bersama Radi. Kakak nya itu lebih banyak fokus pada laptopnya saat dirumah, saat dikampus pun Radi selalu pulang lebih dulu, tanpa menunggunya.

"Kamu kenapa?" Raefal menggeleng saat sang papa bertanya.

"Kangen bang Fares, sekarang bang Fares jarang ngabisin waktu sama Efal." Abi hanya bisa mengelus puncak kepala Raefal saat putranya itu lagi-lagi mengeluh tentang Radi.

"Abang mu masih sibuk mungkin Fal, banyak tugas." Raefal terdiam sebentar sebelum akhirnya mengangguk.

"Iya mungkin pa." Abi tersenyum tipis saat Raefal mulai tersenyum.

"Mau mampir tempat bunda?" Raefal mengangguk antusias saat Abi menawarkan mampir ketempat Alia.

"Pa, bunda beneran mau keluar kota ya?" Abi mengangguk.

"Iya bunda Lia, harus ngurus butiknya diluar kota sebulan." Raefal menatap Abi lekat.

"Papa ikut kan? Jangan bilang papa gak nemenin bunda?" Abi tertawa kecil saat melihat Raefal memasang wajah galak.

"Papa pasti nemenin bunda kalian, nanti kamu dirumah sama bang Radi. Inget nurut sama bang Radi." Raefal mengangguk semangat, tentu saja dia akan menurut pada Radi, dia akan menggunakan itu untuk dekat dengan Radi.

"Pasti pa."
.
.
.
.
.
Radi menatap tidak percaya pada Alia juga Abi yang mengatakan mereka akan keluar kota untuk masalah pekerjaan, bukan masalah sebenarnya tapi lamanya waktu yang dikatakan Alia berhasil membuat Radi berdecak kesal. Bayangkan saja satu bulan dia harus tinggal dirumah Abi, dan dia tidak bisa mendekam distudionya.

"Harus banget sebulan ya?" Alia mengangguk, dia tau bahwa Radi tengah keberatan saat ini.

"Butik bunda yang di bandung butuh dicek, kamu tinggal disini dulu sebulan ya." Radi menatap Abi dan Raefal, dia tau bahwa kedua nya ingin Radi tetap tinggal disana.

"Iya, aku disini." Abi tersenyum lega, berbeda dengan Alia yang tersenyum sendu.

"Makasih ya nak." Radi hanya mengangguk. Dia kesal tapi tidak tega untuk menolak, apa lagi melihat tatapan penuh harap Raefal.

"Bunda sama papa berangkat sore ini, kalian baik-baik ya dirumah." keduanya mengangguk. Alia dan Abi memang sudah siap berangkat saat Radi sampai dirumah. Jadi keduanya langsung saja berangkat setelah mengatakan itu.

"Hati-hati." Radi hanya bergumam pelan saat kedua orang tuanya berangkat.

"Abang, ayo masuk." Radi tersenyum saat Raefal menarik tangannya masuk kedalam rumah.

"Bang Fares, nanti malem jajan keluar yuk." Radi hanya mengangguk.

"Iya, sana mandi dulu, lo bau." Raefal menelik tidak terima saat Radi mengatakan dirinya bau.

"Aku gak bau ya bang!"
.
.
.
.
.
Raefal mengernyit saat tidak menemukan Radi dikamarnya, remaja itu memutuskan turun kelantai bawah, berharap menemukan Radi disana. Tadi saat sang kakak mandi, dia justru pergi keluar, membeli martabak manis kesukaannya didepan komplek.

"Bi Maya, bang Fares dimana?" bi Maya yang kebetulan sedang memberekan dapur setelah memasak, langsung menatap kearah Raefal.

"Den Radi dibelakang den." Raefal langsung berlari kebelakang saat mendengar jawaban bi Maya. Benar saja dia menemukan Radi sedang bermain dikolam renang.

"Bang Fares!" Radi yang sedang asik berenang langsung mendongak menatap Raefal yang terlihat khawatir dipinggir kolam.

"Kenapa?" Radi yang melihat Raefal seperti akan menangis langsung saja beranjak keluar dari kolam.

"J-jangan berenang, ayo masuk, jangan dikolam renang." Radi mengernyit saat Raefal tiba-tiba menariknya masuk kedalam rumah setelah sebelumnya menyelimuti tubuhnya dengan handuk.

"Lo kenapa?" Raefal menatap Radi dengan mata berkaca-kaca.

"J-jangan main kekolam renang lagi." Radi hanya bisa mengangguk, dia tidak ingin melihat Raefal menangis karena dia pasti tidak bisa menenangkan remaja itu.

"Iya, udah jangan nangis." Radi segera membawa Raefal duduk dimeja makan.

"Tunggu sini, gue ganti baju dulu." Raefal mengangguk, dia terus memperhatikan Radi yang menghilang dibalik tembok dapur.

Radi kembali kedapur setelah lima menit, dia melihat Raefal yang masih setia duduk dikursi. Dia tersenyum melihat adik tirinya itu menurut.

"Lo darimana tadi?" Raefal sedikit terkejut saat Radi tiba-tiba bertanya. Remaja itu menoleh, dia bernafas lega saat melihat Radi sudah berganti pakaian.

"Kedepan komplek bang, beli martabak manis." Raefal menunjuk dua kotak martabak manis yang ada diatas meja makan.

"Keju? Lagi?" Raefal mengangguk antusias, tangannya masih setia membuka kotak berisi martabak Manis itu.

"Iya bang." Raefal mendorong satu kotak kearah Radi, membuat pemuda itu menghela nafas pelan.

"Suka banget ya lo sama martabak manis keju?" Raefal mengangguk.

"Aku suka bang, tapi lebih suka kacang." Radi mengernyit, jika Raefal lebih suka kacang kenapa remaja itu selalu membeli martabak manis keju.

"Kalau gitu lain kali beli aja yang kacang." Raefal menggeleng, hal itu membuat Radi menatap bingung.

"Gak, bang Fares alergi kacang, lagi pula bang Fares lebih suka keju." Radi mengernyit bingung, sejak kapan dia alergi kacang. Radi akhirnya mengangguk paham jika yang dimaksud Raefal adalah Fares,kakak kandungnya.

"Kalau lo emang lebih suka kacang, lo bisa beli itu, apa yang lo khawatirin sekarang sebenernya?" Raefal terdiam sejenak sebelum akhirnya menatap lekat pada Radi.

"Bang Fares." Radi mengerjap, jangan bilang jika Raefal selama ini menganggapnya sebagai Fares, kakak kandungnya. Radi harus memastikan hal itu sekarang.

"Gue?" Raefal mengangguk.

"Gue kan gak alergi kacang, dari pada lo beli keju, mending lo beli martabak manis kacang." Raefal terlihat tidak setuju dengan ucapan Radi.

"Sejak kapan bang Fares gak alergi kacang? Aku gak mau bunuh bang Fares." Radi menghela nafas, dia sudah mendapatkan jawabnnya.

"Tapi gue bukan Fares yang lo maksud Fal."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.

Janji?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang