15. Fares?

726 124 4
                                    


.
.
.
.
.
Pagi ini Radi sengaja bangun lebih pagi, bukan sengaja sih, hanya saja dia terbangun karena mimpi buruk dan tidak bisa tidur lagi. Pemuda mungil itu menatap langit-langit kamarnya dengan sendu. Seharusnya dia bahagia kan, karena tiga hari lagi Alia, sang bunda akan menikah. Itu tandanya sang bunda akan mendapat orang yang akan melindunginya, Radi hanya bisa berharap bahwa calon ayah tirinya itu tidak akan bersikap seperti ayah kandungnya.

Tok

Tok

Tok

Cklek

"Radi." Radi menoleh kearah pintu kamarnya yang baru saja terbuka. Ada Alia yang sedang tersenyum disana.

"Ada apa bun?" Alia tersenyum saat melihat putra tunggalnya itu hanya menoleh tanpa niat beranjak dari kasurnya.

"Kamu ada kuliah hari ini?" Radi menggeleng, matanya terpejam saat merasakan tangan lembut Alia mengelus kepalanya.

"Ikut bunda ketemu calon ayah sama adik kamu yuk." Mata Radi langsung terbuka saat mendengar ucapan Alia.

"Bun, Radi kan udah bilang, Radi gak mau ketemu mereka sebelum pernikahan bunda." Radi merubah posisi berbaringnya menjadi duduk dan menatap wajah cantik Alia.

"Mereka pingin ketemu kamu loh." Alia menatap sendu pada putra tunggalnya itu saat menemukan sorot takut dan ragu dikedua netra hitamnya.

"Nanti kan juga ketemu bun." Radi tau sang bunda mengetahui alasan utamanya menolak bertemu mereka, tapi mau bagaimana lagi dia sendiri belum sepenuhnya siap mempunyai anggota keluarga baru meskipun mulutnya selalu mengatakan tidak ada masalah.

"Ketemu bentar aja nak, kamu juga libur kan hari ini." Radi menghela nafas sebelum menatap lagi wajah cantik ibunya.

"Aku emang gak ada kuliah hari ini bun, tapi aku tetep harus kekampus buat laporan panitia acara malam seni kemarin." Radi sebenarnya tidak suka melihat wajah murung Alia, tapi dia tidak menemukan cara lain untuk menghindari ajakan Alia.

"Ya udah kalau gitu, tapi kamu harus janji kalau kamu akan ada di nikahan bunda." Radi tersenyum tipis.

"Radi pasti dateng bun, bunda gak perlu khawatir." Alia balas tersenyum pada Radi.

"Kamu mau kekampus jam berapa?" Radi langsung melihat ponselnya, sudah pukul 7.35 ternyata. Sedangkan dia janji pada Regis untuk menjemput pemuda itu pukul 8.

"Jam delapan bun, habis ini mau siap-siap dulu."
.
.
.
.
.
"Gis, semalem kamu pulang dianter siapa?" Regis yang baru saja selesai mandi terkejut saat mendapati Tirta, abangnya sudah duduk manis didalam kamarnya.

"Senior gue bang, ban motor gue tiba-tiba kempes soalnya." Tirta menghela nafas lega saat mata Regis tidak menunjukan kebohongan.

"Hari ini kamu ada kuliah?" Regis mengangguk.

"Mau abang anter?" Regis menggeleng, membuat Tirta mengernyitkan dahi.

"Terus kamu mau berangkat sama siapa Gis? Abang anter aja ya sekalian sama Raefal." Regis berdecak lirih mendengar nama Raefal disebut oleh Tirta.

"Gue udah ada janji mau berangkat sama bang Radi bang." Tirta semakin mengernyit saat mendengar nama asing disebut oleh adiknya.

"Radi? Dia yang nganter lo semalem?" Regis mengangguk kecil, dia beberapa kali melirik kearah Tirta yang masih setia duduk diranjangnya.

"Iya, yang semalem." Tirta mengangguk membuat Regis mengehela nafas lega.

"Nanti suruh mampir dulu, abang mau tau gimana anaknya." Ucapan Tirta mampu membuat Regis mematung. Apa dia benar harus membawa Radi masuk kerumahnya, ditambah hari ini ayahnya sedang ada dirumah, ada bunda nya juga.

Janji?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang