40. Panik

539 89 4
                                    


.
.
.
.
.
Kejadian beberapa hari lalu distudio membuat Radi sedikit was-was jika ada distudio seorang diri. Meskipun Radi sendiri tau jika tidak distudio kampus, dimana dia akan mengerjakan tugas musiknya.

"Bang, lo beneran gak mau balik sekarang?" Radi menatap Regis dan Raefal bergantian.

"Gue harus ngerjain tugas dulu, nanti kalau udah selesai gue pasti langsung balik." Regis sebenarnya ingin menolak saat menyadari tatapan yang diberikan Radi, terutama kode dari pemuda mungil itu untuk segera pulang dengan Raefal.

"Bang Fares, aku tunggu disini ya?" Radi menggeleng, dia menolak niat Raefal.

"Pulang Fal, tungguin gue dirumah aja." Radi segera menyerahkan kunci mobilnya pada Regis, sebelum akhirnya memaksa dua adiknya itu meninggalkan studio.

"Tapi bang.." Radi menggeleng, dan itu membuat Raefal terpaksa menuruti perintah kakak mungilnya untuk pulang.

"Jangan pulang malem kayak waktu itu lagi." Radi hanya mngangguk, netra kembarnya terus mengikuti punggung adik-adiknya yang keluar dari studio.

"Pulang enak kok malah pingin nemenin aku disini."
.
.
.
.
.
Raefal beberapa kali menghela nafas kasar, sudah pukul 7 malam, tapi Radi belum menginjakan kakinya dirumah. Remaja itu sudah sempat menghubungi Radi, tapi kakak tirinya itu hanya mngatakan sebentar lagi akan pulang, sebelum mematikan panggilannya.

"Bang Fares kenapa belum pulang sih?" Raefal bergumam kecil, dia sesekali melihat kearah luar dari jendela balkon kamarnya.

"Apa aku harus telfon lagi ya?" Radi segera mengeluarkan ponselnya dari saku, namun sebelum dia menelfon Radi, dia melihat Radi membuka gerbang rumahnya. Melihat kepulangan Radi membuat Raefal segera beranjak turun.

"Bang Fares."

Grep

Radi yang baru saja menutup pintu rumah terkejut saat tubuhnya mendapat pelukan erat dari Raefal.

"Kamu kenapa?" Radi bisa merasakan Raefal menggeleng.

"Kenapa baru pulang? Udah makan?" Radi menggeleng, dia semakin bingung saat Raefal menerondongnya dengan pertanyaan.

"Baru selesai nugas Fal, dan gue belum makan." Raefal tersenyum.

"Kalau gitu ayo makan bang, aku tadi pesen nasi goreng, aku udah pesenin yang gak pedes buat abang." Radi menghela nafas pelan, Raefal lagi-lagi menganggapnya Fares.

"Gue mau mandi dulu sebentar." Raefal mengangguk dan membiarkan Radi berlalu kekamarnya.

Didalam kamar, Radi mengacak rambutnya kasar, dia tidak bisa seperti ini terus. Waktu satu bulan itu masih tersisa tiga minggu, dan dalam waktu tiga minggu dia harus berhadapan dengan Raefal yang selalu menganggap dan memperlakukannya layaknya Fares. Semua makanan dan kebiasaan yang biasa Radi makan harus diganti dengan kebiasaan dan makanan Fares, yang jelas sekali itu menyiksa untuk pemuda mungil itu.

"Gue bisa gila, lama-lama." Radi meletakan tasnya di ranjang, mengeluarkan laptopnya dan mulai menyalakannya. Sambil menunggu laptopnya menyala, Radi masuk kedalam kamar mandi.

"Gue bukan Fares dan gak akan pernah bisa jadi Fares, meskipun nama gue dan dia sama."
.
.
.
.
.
Raefal lagi-lagi harus menelan kecewa karena Radi justru sibuk dengan laptop dikamarnya, bahkan pemuda mungil itu melupakan makan malam mereka. Raefal kesal tapi dia tidak bisa marah karena takut Radi akan meninggalkannya.

"Abang, ayo makan dulu." Raefal merengut saat Radi bahkan tidak menjawabnya. Ya bagaimana akan menjawab jika telinga pemuda mungil itu tertutup headphone.

Janji?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang