"Gak mau! Gue nggak mau!"
"Gak, kamu harus ikut paman!"
"Gak."
"Harus!"
"Paman, nggak."
Semua murid menatap aneh pada kedua orang itu. Seorang paruh baya menarik-narik tangan keponakannya agar ikut pulang bersamanya, tetapi gadis itu meronta-ronta sambil berteriak-teriak. Aurel terus ngereong. Sementara kedua temannya hanya diam menyaksikan keributan paman-keponakan itu.
"Eh, tolongin gue dong," ujar Aurel meminta pertolongan dari kedua temannya.
Lyra mengedikan bahunya, tidak berminat membantu, dan Zia tidak merespon apapun.
Aurel melemparkan sorot mata bermusuhan dan berbicara melalui mata; Awas aja kalian!
"Kalo kamu gak mau, paman nggak akan lagi di pihak kamu kalo papi-mu lagi marah. Paman juga nggak akan lagi dengerin curhatan yang nggak jelas itu lagi." Aslan berhenti dan menarik jauh tangannya. Maniknya menatap tajam keponakannya itu.
Mata Aurel terbuka lebar. Jika pamannya itu marah dan ngambek sudah dipastikan tidak ada lagi tempat pengungsian untuknya kalo mau kabur dari rumah. Kedua temannya? Mereka akan tolak mentah atas kehadirannya dengan membawa satu koper.
"Jangan dong." Kini, Aurel yang memegang tangan lelaki paruh baya itu, menunjukkan puppy eyes-nya.
"Kalo gitu pulang sama paman," ujar Aslan.
Aurel geleng-geleng kepala lirih. "Paman, aku mau pulang bareng mereka aja," ujar Aurel memeles, seraya menunjuk kedua temannya.
Paman mencibirkan bibirnya, kesal sama keponakan perempuan satu-satunya. "Enggak. Kamu harus ikut sama paman karena Papi-mu nyuruh bawa ke kantornya"
Bahu gadis petakilan itu turun dengan bibir yang melengkung ke bawah, sepertinya pamannya itu tidak akan lagi mau mengindahkan perkataanya. "Paman, please... Aurel nanti nyusul kok. Janji." Aurel terus berusaha membujuk lelaki paruh baya di depannya.
Aslan menghela nafas kasar. Akhirnya, Aslan menganggukkan kepala setelah berpikir sejenak. "Tapi kamu jangan sampai telat apalagi nggak datang."
Aurel mengangguk dengan cepat dan senyum sumringah terbit di wajah
"Paman tunggu di lobi."
"Siap." Aurel mengajukan jempolnya.
Aurel membalikkan tubuhnya ke belakang, menatap kedua temannya ketika Aslan masuk ke mobil dan meninggalkan parkiran. Aurel menyipitkan matanya lalu mengembangkan senyumnya.
Zia mengangkat kedua tangannya tepat berada di wajah Aurel ketika gadis petakilan itu mendekat. "Gue nggak bisa ikut kalo hangout."
"Kenapa?"
"Kak Ares ajak gue ke rumahnya," jawab Zia menurunkannya tangannya.
"Kalo gitu kita ikut dong," ujar Bulan meraih tangan Zia tetapi gadis itu malah mundur selangkah. Kalau sudah begitu Zia menolaknya.
"Nggak!" Zia memberi jawaban dengan tegas. "Kalian berdua nggak diajak."
Zia mencibirkan bibirnya, kesal.
Lyra ketawa kecil. "Lo sama gue aja Rel, gue dapat undangan kita bisa pergi bareng."
"Undangan? Undangan pernikahan?"
Lyra geleng kepala. "Undangan makan dari Oma gue," jawab Lyra mengembangkan senyumnya, yang terlihat menyebalkan di mata Aurel. Lyra merasa puas melihat kekesalan sangat terpancar di wajah cantik teman petakilannya itu. Dia tau kalau Aurel akan menolak tawarannya karena Aurel tidak terlalu suka dengan tatapan tajam oma Lyra.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAGARA
Teen Fiction"Aku tunggu kamu sampai beranjak dewasa, my little girl." ~Sagara Alexander Pratama. ••••• "Eum... Nama gue? Hmm... Gimana kalau panggil sayang aja biar om bisa ingat terus sama gue." ~Rosalind Aurellia Daisha. ••••• Yuk, langsung baca dan jangan lu...