33. Infomasi yang Salah

831 55 36
                                    

Semburat cahaya matahari dengan malu-malu masuk melalui celah-celah jendela kamar seorang gadis yang sudah rapi mengenakan seragam sekolahnya. Saat menyebrak gorden hangatnya cahaya matahari tepat mengenai wajahnya. Membuat Aurel menutup mata, sembari menikmati angin yang segar mengenai wajahnya. Ditambah dengan indahnya suara kicauan burung yang saling sahut-sahutan.

Merasa puas menikmati angin segar, Aurel beranjak dari tempatnya. Dia mengambil tasnya di kasur dan memakainya, siap berangkat ke sekolah. Namun, sebelum itu Aurel berjalan ke arah cermin, mengecek kondisi mukanya. Walau pagi ini tampak segar tidak dengan wajah Aurel yang tampak lesu. Jari Aurel menyentuh matanya yang bengkak, tidak sebengkak seperti semalam memang. Aurel menghela nafas panjang setelahnya, sebelum kembali berjalan.

Aurel tidak ingin membuat mood-nya semakin kacau karena mengingat betapa menyedihkan dirinya semalam menangisi lelaki yang tidak punya hati seperti Gara. Sekali lagi Aurel menghela nafas.

"Morning," sapa Aditya tersenyum ceria. "Nonton drakor lagi ya lo," tuding Aditya saat mendapatkan mata sembab perempuan di hadapannya.

"Kampret!" ujar Aurel memegang dadanya, tersentak kaget mendapatkan Aditya sudah berdiri di depan kamarnya.

"Ramah sekali mulutnya sayang." Aditya menyentil bibir Aurel tanpa mengenainya. Sontak merangkul pundak Aurel setelah gadis petakilan tersebut menutup pintu kamar. Mereka berjalan menuju lantai bawah.

"Ngapain lo datang ke sini?" Aurel bertanya terdengar tak suka.

"Mau ngapain lagi selain menjemput princess Aurel cantik," jawab Aditya sedikit berlebihan.

"Padahal gue rencananya mau telat," celetuk Aurel dengan santainya.

"Lo mau telat lagi? Kebiasaan," cibir Aditya menepuk pelan pundak sahabatnya itu. "Jangan sering-sering telat, sebentar lagi dah mau ujian tau," nasihat Aditya.

"Gak ada ngaruhnya sama gue. Mau gue cepat masuk kelas atau gak, masuk kelas atau gak kalau emang kapasitas otak gue segini mau diapain lagi coba?"

"Lo pesimis mulu orangnya. Sekarang bukan kapasitas yang dipermasalahkan tapi niat lo. Lo-nya aja yang malas duluan.
Lagian lo bukannya gak pintar, pintar kok. Kamu tuh orangnya cepat nangkap. Lo ingat pas semester genap kelas sepuluh lo bisa jawab soal matematika hanya sekali penjelasan? You can do it." Aditya menyahut bicara dengan bijaksananya. Aditya terkadang gemas sendiri melihat ketidak pedean Aurel masalah belajar. Seperti, kenapa Aurel bisa selalu pede akan segala penampilannya, dan banyak hal lainnya kecuali dalam belajar?

Aditya sontak memberhentikan langkahnya ketika Aurel dengan tiba-tiba berhenti di tepi tangga.

"Thanks dude," ujar Aurel menatap Aditya dengan mata berbinar, membuat cowok itu mengulas senyum. "Makasih lo udah nyadar gue kalo gue benci belajar. Jadi gue gak perlu capek-capek harus pahami materi-materi yang gak pernah masuk ke otak gue."

Senyum Aditya langsung memudar. Dia menghela nafas berat. Aditya tak habis pikir dengan jalan kerja otak gadis petakilan tersebut. Seharusnya dia tidak perlu banyak berharap dan berekspektasi kalau Aurel akan menerima nasihatnya, karena bukan sekali dua kali mendengar jawaban yang mirip. Dan, saat Aditya ingin memberi nasihat lagi, gadis petakilan itu akan pergi begitu saja. Seperti saat ini contohnya.

Aurel kembali melangkahkan kakinya, menuruni satu persatu gundukan anak tangga, dengan cepat. Membuat Aditya mengekor. Boleh tidak sih Aditya kesal pada sahabatnya itu? Tentu saja boleh, tetapi sangat sulit baginya untuk menunjukan kekesalannya ketika wajah imut itu menatapnya. Aurel terlalu imut sih.

"Lo gak sarapan dulu?" Aditya bertanya saat mereka melewati ruang makan.

"Gak selera," jawab Aurel menggeleng. "Buruan!" Aditya langsung berlari kecil.

SAGARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang