31. Momen yang Langka

749 49 19
                                    

“Gimana? Nanti, lo temui Raga di lapangan basket?” tanya Zia menatap sahabat petakilannya itu saat sudah berada di depan kelas.

Tidak seperti di depan para lelaki yang langsung menjawab ajakan Raga, kini Aurel tidak menjawab. Gadis petakilan diam, tampak menimang-nimang lagi ajakan Raga. Selama perjalanan menuju kelas, Aurel bertanya-tanya, mengapa Raga ingin menemuinya– berbicara secara empat mata? Bisa saja kan cowok itu langsung mengatakannya tadi, tapi ini tidak. Apa ada hal yang sangat penting dibicarakan sampai yang lain tidak boleh tau?

Karena alasan itu, disinilah sekarang Aurel berada– di koridor masuk lapangan basket indoor. Dia membuka pintu berwarna coklat terang itu. Kakinya terus melangkah hingga di tengah lapangan Aurel memutar kepala melihat sekeliling, tetapi tetap tak menemukan siapapun di sini.

Kemana cowok itu? Dia yang menyuruh datang tetapi dia tidak ada. Mata gadis petakilan itu membesar seketika. Apa jangan-jangan Raga hanya ingin mengusilinya?

Aurel mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. Awas aja kalau sampai ketemu, Aurel akan tonjok tuh muka Raga. Hendak bergerak dari tempatnya, Aurel kembali berdiam diri saat sebuah bola basket melayang memasuki ring, hingga mantul-mantul ke lantai. Refleks, Aurel memutar badannya ke belakang. Gadis petakilan itu berkacak pinggang, menatap cucu pemilik sekolah ini berjalan dengan santai di podium penonton.

Aurel menatap tak santai ketika Raga  berdiri tepat di hadapannya. Dia memasang ekspresi garang, walaupun tidak tampak terlihat karena wajahnya yang imut.

“Lo pasti mikir gue ngisengin lo,” tebak Raga tepat sasaran. Dia menjatuhkan pandangannya ke tangan Aurel. Raga memiringkan kepala, dan menaikkan sebelah alisnya. “Lo ngepal tangan tuh. Mau nonjok gue rencananya?”

“Gue gak akan seiseng itu sama orang. Kek kurang kerjaan aja,” decak Raga.

Aurel memonyongkan bibirnya. “Jadi lo nyuruh gue kesini segala, ngapain?”

“Parfum gue,” jawab Raga enteng.

Kening Aurel berkerut. Parfum? Ah, Aurel lupa untuk mengembalikannya pada hari itu. “Jadi lo nyuruh gue kesini cuma mau minta balikin parfum lo?” tanya Aurel tercengang.

Raga mengangguk tanpa rasa bersalah.

“Kalo bukan iseng namanya jadi ini apa? Lo nyita waktu pulang gue, suruh gue ke sini cuma minta parfum doang. Kenapa lo gak minta tadi, bambang?” sungut Aurel. Kekesalannya mencuat. Ingin rasanya Aurel memukul kepala cowok itu.

“Gue malas ngomong tadi,” jawab Raga memalingkan wajahnya ke samping.

“Makan tuh malas,” ucap Aurel menginjak kaki cowok di hadapannya dengan sekuat tenaga. Aurel tersenyum puas melihat Raga meringis kesakitan sambil memegang kakinya.

Namun, senyum itu memudar seketika karena ekspresi Raga berubah menyeramkan. “Apa? Lo mau balas dendam?”  Aurel mengambil langkah ke belakang karena cowok di depannya itu maju semakin dekat, hingga di tepi garis lapangan Aurel berhenti. Dia menatap was-was.

“Sakit tau,” adu Raga menyentil dahi gadis petakilan tersebut dengan pelan.

Aurel tidak bergeming di tempatnya. Mulutnya terbuka kecil dengan mata membulat. Otaknya masih memproses perlakukan yang tidak biasa itu dari Raga.

Aurel mengambil satu langkah ke belakang setelah menyadarinya. “Apaan sih?” sungut Aurel. Tangannya bergerak mengusap-usap kening, menghilangkan jejak sentuhan Raga.

Raga tetap memberi perhatiannya pada gadis petakilan tersebut, tidak tersinggung sama sekali.

“Gue gak bawa parfum lo, besok gue balikin,” ucap Aurel judes. Dia memegang erat tali tasnya, lalu berjalan begitu saja melewati Raga. Dengan sengaja menabrak pundak cowok itu.

SAGARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang