14. Mampir ke Rumah

1.8K 208 31
                                    

"Papi lo ada di dalam gak?" tanya Aditya seraya melepas helmnya.

"Kenapa? Lo mau minta seratus gantiin bensin lo karena udah nganter gue? Bukan gue yang pengen minta dianter tapi lo yang mau nganter gue ya," cerocos Aurel garang.

"Masih aja ngambek," Alex menghela napas berat. "padahal niat gue baik mau silaturahmi sama paman Alex."

"Lo udah sering silaturahim sama bokap gue, pikun," sahut Aurel menoyor kepala Aditya dengan gemas.

Aditya cengar-cengir.

"Ayo."

Aurel melangkahkan kakinya masuk ke pekarangan rumah, meninggalkan Aditya yang mengejarnya. Aurel terus menghindar kala Aditya ingin merangkulnya. Cowok itu tak henti-hentinya berbuat jahil walau Aurel melemparkan tatapan tajam padanya. Aditya sangat senang melihat raut kekesalan Aurel karena pipi gadis petakilan itu akan selalu mengembung.

"Hai, paman Alex," teriak Aditya kala melihat lelaki paruh baya yang dulu ia anggap sebagai calon mertuanya, bahkan sampai sekarang.

Aurel menghela nafas panjang melihat tingkah Aditya. "Gak usah teriak Aditya," desis Aurel.

"Maaf sayang," ujar Aditya mengedipkan matanya. "Bukannya lo gak punya abang ya?" tanya Aditya, tersadar ada orang lain yang duduk di single sofa samping Alex.

Aurel berdehem sebagai responnya.

"Terus yang di dekat bokap lo siapa?"

Aurel mengernyitkan dahi tidak melihat siapapun di samping sang papi, tapi di langkah selanjutnya bola matanya membesar melihat ada Gara di sana. Karena ada pilar besar yang menghalangi, lelaki itu tidak kelihatan.

Aurel sontak mempercepat tempo jalannya. "Kenapa papi gak bilang dia datang?" protes Aurel ketika sudah berdiri di depan kedua orang itu yang hanya terhalang meja.

"Kamu gak ada tanya," ujar Alex tertahan. "Kamu juga gak bilang securut ini datang," lanjutnya dalam hati melirik ke Aditya.

Aditya memberi senyum terbaiknya pada orang asing tersebut, menjulurkan tangannya. "Hai bang, gue temannya Aurel," sapa Aditya. "teman hidup maksudnya," lanjut Aditya disertai senyum lebar, tetapi Gara hanya mengangguk kecil lalu menarik tangannya.

"BUKAN." Pekikan orang tua dan anak itu membuat Aditya dan Gara menoleh bersamaan.

Dengan pergerakan refleks Aurel memusatkan intensinya pada Gara. Dia geleng-geleng kepala. "Dia cuma sahabat gue," jelas Aurel cengengesan, tidak ingin Gara salah paham. Padahal Gara terlihat biasa saja.

Aditya cemberut mendengar pernyataan Aurel. Kenapa mesti dikoreksi oleh gadis itu?

"Dia cuma bercanda bilang begitu," lanjut Aurel. "Iya, kan?" Aurel menarik-narik lengan seragam Aditya agar sahabatnya itu menganggukkan kepala.

Aditya menoleh sekilas pada Aurel sebelum mengangguk dengan terpaksa. Dia juga gak bisa marah pada Aurel karena yang dibilang gadis itu benar. Aurel juga sudah memberikan jawaban atas perasaan Aditya.

"Terus ini siapa? Paman dapat darimana? Mana cakap banget lagi," celetuk Aditya menghilangkan rasa cemberutnya, dan tidak mengerti situasi. "Kalo Aurel godain abang, sumpel aja mulutnya. Kalo gak disumpel dia gak bisa diam kek gue dulu digodain mulu, bahkan banyak cowok yang digodain akh–"

SAGARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang