Bryan, siswa teladan yang berseragam lengkap dan rapi membuka pintu kelas, dan boom… Kericuhan yang terdengar sangat menyebalkan di pagi yang cerah ini, membuat dia menutup telinganya rapat-rapat.
Dia menyapu pandangannya ke tiap sudut kelas, geleng-geleng kepala melihat tingkah pecicilan teman-teman sekelasnya. Kemudian berjalan menuju bangkunya.
Bryan selalu saja kena culture shock saat melihat tingkah aneh teman-temannya, padahal setiap hari mereka bersama-sama. Menjadi ketua kelas sangatlah susah dan menguras emosi dan tenaganya selama tiga tahun ini. Bagaimana ia bisa mengurus sendiri tiga puluh orang yang memiliki beragam karakter?
Contohnya seperti saat ini, saat kelas lain sudah berada di lapangan, bersiap mengambil barisan untuk melaksanakan upacara yang akan dimulai, sementara kelasnya? Mereka sibuk lompat sana-sini dan berteriak seperti di hutan. Entah apa yang mereka ributkan. Bryan sampai tidak bisa menangkap pembicaraan mereka karena saat A berbicara si B menyahut, dilanjut si C, dan seterusnya.
“Woi, siapa sih yang foto? Bego banget,” umpat Zico, si pembuat onar, menepuk mejanya keras. Kesal karena hasil tugas Zia terpotret buram.
“Santai dong,” jawab cowok di kursi pojok.
“Bacot lo!” Zico mengacuhkan jari tengah. Kemudian, melangkahkan kakinya ke meja Zia. “Zia, buku lo mana?”
Zia yang sejak tadi hanya diam memandangi papan tulis, menggeleng kepala, dan kembali menopang dagunya.
“Mana buku Zia?” teriak Zico berdiri di meja.
“Cepatlah,” ujar siswa lainnya.
“Buku Zia, oi.” Kembali Zico berteriak membuat teman lainnya berdecak kesal, karena mengganggu kegiatan menyalin tugas Zia.
“Sama Aurel tuh,” teriak cowok berbadan gempal itu menunjuk ke Aurel
Zico melompat dari meja. Tangannya yang hendak merampas buku di meja Aurel, tapi langsung ditahan oleh gadis petakilan itu.
“Gue yang aja fotoin,” ucap Aurel dengan garang. Kemudian memfoto dua halaman dan mengirimkannya ke grup kelas, tentunya tanpa ada wali kelas di dalamnya. “Dah.”
“Thank you cutie,” kata Zico mengulas senyum tipis, kemudian pergi ke mejanya.
“Seharusnya dari awal gue harus patuk harga sama kalian-kalian yang mau nyontek tugas gue,” celetuk Zia sengaja mengeraskan suaranya agar terdengar teman-temannya. Zia yang sejak tadi hanya diam, kini mengeluarkan unek-uneknya kepada teman-teman sekelasnya. Menyebalkan sekali tiap ada tugas mereka selalu saja merebut buku tugasnya.
“Jangan dong, yang,” sahut Rangga, cowok dari meja sebelah, dengan manjanya. “Kasian dong sama kita yang dapat uang jajan dua puluh rebu.” Rangga menampilkan ekspresi kasiannya.
“Cielah, gaya-gayaan miskin padahal kemarin gue liat lo pake mobil–” celetukan siswa di belakang terhenti karena Rangga menggeplak kepalanya menggunakan buku bacaan biologi yang tebal.
“Gak usah ikut campur!” Rangga memberi tatapan tajam agar temannya itu diam. “Gak usah didengar nih curut,” ucap Rangga pada Zia.
Di meja lainnya, Lyra menatap bangga tulisannya yang rapi, dan menutup buku latihannya dengan senang. Karena sudah selesai menyalin tugas Zia. Dia menoleh ke samping. “Dah gak badmood lagi nih ceritanya?” tanya Lyra menyenggol lengan Aurel. Menaik-turunkan alisnya.
Aurel berhenti hanya karena ingin memamerkan senyumnya yang sangat cantik. Kepalanya angguk-angguk kepala menjawab pertanyaan Lyra. Lalu, kembali melanjutkan kegiatannya menulis.

KAMU SEDANG MEMBACA
SAGARA
Teen Fiction"Aku tunggu kamu sampai beranjak dewasa, my little girl." ~Sagara Alexander Pratama. ••••• "Eum... Nama gue? Hmm... Gimana kalau panggil sayang aja biar om bisa ingat terus sama gue." ~Rosalind Aurellia Daisha. ••••• Yuk, langsung baca dan jangan lu...