Bawah alam sadarnya memberi sinyal membuat Aurel berlari dengan kencang mendahului Gara.
Aurel berdiri membelakangi pintu, menatap lekat wajah berekspresi datar lelaki di hadapannya. Aurel mengembangkan senyum manisnya, tetapi di mata Gara berbeda. Sangat menjengkelkan.
"Mentang-mentang tau kantor ayah mertua, datang suka hati ke sini. Kenapa? Om rindu sama pacar cantik om ini?" tanya Aurel dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Tak lupa sebuah kedipan centil diberinya.
"Om lagi sakit?" tanya Aurel khawatir ketika Gara memijat pangkal hidungnya.
Gara mengangguk. "Iya, karena kamu terlalu recok, berisik, centil sejak tadi bahkan sejak kemarin-kemarin."
"Lah?" Aurel menunjukkan ekspresi protes. "Kalo gue recok dan berisik karena gue punya mulut, sementara centil emang udah begini dari sono-nya. Jadi om nggak perlu ambil pusing, gue cuma pengen memusatkan seluruh perhatian gue ke om," tutur Aurel dramatis.
Gara memejamkan matanya. Dia mengurut pangkal hidungnya semakin dalam karena kepalanya terasa semakin berat. Astaga kenapa gadis centil ini pandai sekali berbicara?
"Mau gue bantu pijatin?"
Gara sontak membuka mata, dan menghempas kasar tangan Aurel yang hendak menyentuh hidungnya. Raut tak suka sangat jelas terpencar.
"Om, sakit tau," sungut Aurel mengelus tangannya, menatap kesal pada Gara. "Kasar banget sih jadi cowok."
Ouch, ini sedikit mengejutkan bagi Gara, ternyata gadis centil itu juga bisa kesal padanya. Dia kira Aurel hanya bisa mengekspresikan rasa suka, ketertarikan, dan kepercayaan diri di hadapannya.
"Bagus kalo udah sadar, jadi minggir dari hadapan saya, bukan, tapi dari hidup saya," ujar Gara sinis.
"NO! Gue nggak akan ataupun mau hilang dari hadapan bahkan dari hidup om. Om itu udah sepenuhnya ada di sini," sahut Aurel menunjuk dadanya, cengengesan.
Gara merotasikan mata jengah. Tidak tahan berdekatan dengan gadis di hadapannya, Gara menyingkirkan tubuh Aurel dengan mudah. Tapi... Apa ini? Kenapa pintunya nggak bisa dibuka?
Gara memiringkan tubuh menatap Aurel yang sedang menunjukkan kemenangannya. Senyum itu, Gara benar-benar benci melihatnya. Kini tubuhnya sepenuhnya berhadapan dengan Aurel, tatapan tajam dilayangkan. Namun, itu sepertinya tidak ada apa-apanya bagi gadis itu. Dilihat dari Aurel yang masih menampilkan senyum lebar membuat matanya hampir tertutup.
"Mana kuncinya?"
"Om mau kuncinya?" Aurel menatap dalam mata lelaki di hadapannya, dengan senyum yang semakin lebar. "Kalo mau kuncinya, cium dulu," titah Aurel memajukan wajahnya.
Gara tersenyum miring, membuat Aurel bergidik ngeri. Mengerikan sekali lelaki mapan ini, sekali senyum dikasih senyum remeh,miring, mengejek, walaupun gitu Aurel tetap suka. Semakin cowok itu menunjukkan ketidak tertarikannya, semakin Aurel terpikat dan mencoba menarik cowok itu dalam hidupnya.
"Ck, dasar murah!"
Aurel melotot mendengar itu. Apa cowok itu mengatainya? Jahat sekali.
"Om kok gitu sih?" Aurel mengerucutkan bibirnya, kesal.
"Kenapa? Kamu tersinggung?" Gara menaikkan sebelah alisnya. "Orang yang dengar kamu ngomong gitu juga bereaksi kaya saya. Kamu sering ngomong gitu ke cowok lain?"
"Kenapa? Om-"
"Saya gak cemburu," sela Gara. "Saya udah punya kalo kamu lupa."
Aurel mencibirkan bibirnya, tak suka. Aurel ingat dengan ucapan Sara beberapa hari lalu mengenai gadis khayalan Gara, membuat Aurel tertawa dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAGARA
Ficção Adolescente"Aku tunggu kamu sampai beranjak dewasa, my little girl." ~Sagara Alexander Pratama. ••••• "Eum... Nama gue? Hmm... Gimana kalau panggil sayang aja biar om bisa ingat terus sama gue." ~Rosalind Aurellia Daisha. ••••• Yuk, langsung baca dan jangan lu...