Gara menapaki kakinya dalam rumah dengan ekspresi datar. Dia tampak lelah. Dia benar-benar ingin beristirahat setelah membersihkan diri. Tidak tau kenapa badannya tidak fit sejak siang tadi padahal paginya dia sangat segar. Sementara kemarin kepalanya yang terasa berat karena gadis centil tersebut.
Begitu juga dengan sekarang, kepalanya memenuhi keberisikan di rumah gadis centil tersebut. Bagaimana cara gadis itu meralat ucapan dari sahabatnya, padahal Gara terlihat tidak peduli. Apa gadis itu tidak melihat samasekali ekspresi yang ditunjukkan Gara?
Dan itu sangat mengusiknya karena orang lain bisa beranggapan kalau mereka sepasang kekasih, serta menggambarkan dia kekasih yang posesif terhadap pasangannya.
“Benar-benar menyebalkan,” geram Gara.
“Siapa?” Pertanyaan yang terdengar ceria tersebut memasuki pendengaran Gara membuatnya tersentak kaget. Ditambah kepala orang itu menyembul dari balik pintu. Sejak kapan adiknya itu berdiri di depan kamar?
“Siapa yang buat lo kesal gini?” Raga menerobos masuk dan membanting tubuhnya ke kasur.
“Sejak kapan lo berdiri di depan kamar gue?”
“Sejak gue ngekorin lo dari lantai bawah,” jawab Raga sembari mencari posisi yang pas agar tubuhnya nyaman.
“Ngapain lo ngikuti gue?”
“Lo sombong banget nganggurin gue padahal gue di depan mata, manggil lo,” jawab Raga memperhatikan anak tertua di keluarga Pratama yang melepaskan jas. Raga akui pesona abangnya ini sangat memukau, tapi sayang tidak samasekali terpincut oleh perempuan di luar sana.
Raga menggeleng-gelengkan kepala. “Sayang sekali,” decaknya pelan.
Dengan tampangnya yang wow, kepribadian yang bagus, dan karier yang sukses seharusnya bisa mengantarkan untuk memiliki pasangan. Padahal banyak perempuan yang tertarik dan mencoba mendekat padanya, tetapi Gara selalu menjaga jarak. Tidak hanya jarak tapi perasaannya juga.
Sudah menjadi rahasia umum di keluarga Pratama bahwa Gara sudah memiliki pujaan hatinya, tapi sayang sekali cowok itu tidak pernah memperkenalkannya bahkan nama perempuan itu tidak pernah disebut. Semua keluarga sampai berpikir kalau Gara hanya berkhayal karena mencoba menghindari perjodohan, tetapi berbeda dengan pandangan Raga.
Raga berpikir jika abangnya itu berkhayal tidak mungkin tatapan yang tidak pernah ditujukan pada perempuan lain diluar sana, sangat berbeda ketika Gara mendeskripsikan gadis itu. Apalagi pada malam di hari kelulusan, Gara sangat antusias berbicara padanya mengenai gadis itu. Sudah sekitar delapan tahun, tetapi perasaan Gara tetap pada gadis itu. Walau banyak perempuan yang mengantri untuk dekat dengannya. Betapa setianya Gara.
Raga tersadar dari lamunannya saat abangnya itu menarik-narik kakinya. Dia menaikkan pandangannya melihat Gara yang sudah berganti pakaian.
“Sana, gue mau lanjut kerja,” usir Gara, mendorong tubuh adiknya itu agar keluar dari kamar.
“Kerja mulu, refreshing sekali-sekali sono,” sahut Raga enteng.
“Rencananya tapi malah dibatalin mama,” ucap Gara.
“Kenapa?”
“Paling mau ngejodohin gue lagi dengan embel-embel nyuruh gue datang ke acara,” jawab Gara menghela nafas berat. Di tengah perjalanan menuju rumah, wanita yang penuh kasih sayang itu meneleponnya dan mengundangnya besok, entah kemana dan dalam rangka apa Gara tidak tau. Karena wanita itu tidak memberitahunya. Gara sudah menolak dan memberi alasan untuk traveling ke luar negeri selama beberapa hari, ia kira sang mama akan mengijinkannya tapi dugaannya salah.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAGARA
Fiksi Remaja"Aku tunggu kamu sampai beranjak dewasa, my little girl." ~Sagara Alexander Pratama. ••••• "Eum... Nama gue? Hmm... Gimana kalau panggil sayang aja biar om bisa ingat terus sama gue." ~Rosalind Aurellia Daisha. ••••• Yuk, langsung baca dan jangan lu...