Alex memperhatikan anak gadisnya yang baru saja dari dapur, berjalan menuju ruang tengah. “Papi tadi telepon ke rumah, bi Ina bilang kamu belum pulang. Dari mana kamu sampai pulang sore-sore?”“Aurel gak kemana-mana,” jawab Aurel mendaratkan bokongnya di sofa, samping sang papi. “Aurel ketiduran di kelas, ngantuk banget soalnya,” jelas Aurel.
“Emang teman kamu gak yang bangunin kamu?” tanya Alex kembali pada pekerjaannya, mempelajari sebuah laporan yang baru masuk ke email-nya.
“Gimana gak bangunin orang akunya yang larang mereka,” celetuk Aurel. Menyilang kedua tangannya di depan dada.
Alex mengangguk-angguk kecil sebagai responnya. Aurel melirik sang papi lalu menatap layar laptop ketika hening melanda. Gadis petakilan tersebut tampak mengerutkan keningnya, tak suka dengan penampilan layar tersebut. Serius, Aurel sangat tak menyukainya. Jika ditanya apakah Aurel mau meneruskan pekerjaan sang papi, menjalankan perusahaan yang sudah didirikan puluhan tahun lalu tersebut? Aurel dengan lantang akan mengatakan tidak mau. Bagaimana bisa Aurel mengurus perusahaan keluarganya sementara dia sendiri tidak bisa mengurus tugas sekolahnya dengan baik contohnya. Alex juga tidak terlalu mempermasalahkan ataupun memaksa Aurel untuk meneruskan pekerjaannya.
“Papi gak pusing apa liat begitu tiap hari?” tanya Aurel saat layar laptop menampilkan deretan angka. Membuat Aurel pusing melihatnya.
Alex tersenyum tipis mendengarnya. Menghentikan kegiatannya, Alex menatap anak gadisnya itu dengan lembut. “Gak, Papi udah bisa liat bahkan ngurus beginian, namanya juga pekerjaan Papi.”
“Aurel angkat tangan ya kalo Papi nyuruh aku kerja di kantor. Kerjaan gini bukan style Aurel banget,” ujar Aurel melengkungkan bibirnya ke bawah.
“Papi tau. Kan papi udah bilang gak akan maksa kamu tuk lanjutin perusahaan kita, Papi bisa serahkan ini ke Arsa. Dia keberatan toh,” kata Alex penuh perhatian. Arsalan, atau orang-orang sering manggil Arsa, merupakan sepupu satu-satunya Aurel, anak dari Aslan.
“Mana mungkin si arsialan itu keberatan, orang dia ngincar banget perusahaan Papi,” cibir Aurel kesal. Seketika kekesalannya menciut mengingat sepupu yang sangat menjengkelkan itu. Aurel sudah setahun tidak bertemu dengan Arsalan karena cowok itu sedang berada di luar negeri untuk melanjutkan pendidikannya. Sebegitu ambisinya Arsalan saat mengetahui Alex akan mewariskan perusahaan kepadanya.
“Bukan ngincar kek yang kamu bayangkan. Dia termotivasi dan merasa terhormat pas Papi minta dia yang meneruskan perusahaan kita. Kan kamu sendiri gak yang mau.” Setelah mengatakan demikian, Alex kembali melanjutkan kegiatannya yang tertunda. Alex geleng-geleng kepala, ternyata anak gadisnya itu masih tidak menyukai Arsalan. Padahal mereka sepupuan. Tidak heran lagi sih Aurel selalu bete tiap bertemu dengan Arsalan. Karena Aurel sangat anti dengan orang yang menyebalkan.
“Kamu harus belajar bersabar mulai dari sekarang dan mesti beradaptasi karena Papi dan Arsa akan sering pulang bareng ke rumah setelah dia menyelesaikan pendidikannya,” lanjut Alex.
Aurel berdecih. Merasa kesal sendiri, membayangkannya. Bertemu Raga di sekolah saja sudah berhasil membuat Aurel mengelus dada, ditambah satu orang lagi.
“Papi gak bisa apa pulang kantor bareng dia aja? Bukan si arsialan itu,” tanya Aurel, lebih tepatnya seperti meminta.
“Mana bisa, dia tuh sibuk. Banyak yang harus dikerjakan, bukan kek kamu main terus,” jawab Alex.
“Aurel kan masih sekolah,” cicit Aurel mengerucutkan bibirnya, kesal. "Lagian Aurel main karena gak ada teman di rumah, bi Ina selalu bersih-bersih."
Alex berdehem singkat sebelum kembali berkata, “Kamu main aja ke butik Tante Sara kalo gak ada teman di rumah.”
“Mama mertua punya butik?”
KAMU SEDANG MEMBACA
SAGARA
Teen Fiction"Aku tunggu kamu sampai beranjak dewasa, my little girl." ~Sagara Alexander Pratama. ••••• "Eum... Nama gue? Hmm... Gimana kalau panggil sayang aja biar om bisa ingat terus sama gue." ~Rosalind Aurellia Daisha. ••••• Yuk, langsung baca dan jangan lu...