19. Berjemur di Lapangan

1.3K 103 18
                                    

Senin yang cerah. Lapangan sekolah sudah dipenuhi oleh kerumunan murid. Para petugas upacara sudah berbaris di tempatnya, sementara murid lainnya berada di barisan kelas masing-masing.

“Apa gak bisa tuh bocah bangunannya cepetan dikit?” dumel Lyra menatap ke arah gerbang sekolah. Lima menit lagi upacara akan dimulai, dan Aurel? Gadis petakilan itu belum juga datang.

“Kalian ngapain berdiri di sini? Ayo baris,” ujar Bryan selaku ketua kelas mengajak kedua teman sekelasnya untuk berbaris. Mau tak mau Lyra dan Zia masuk dalam barisan kelas mereka.

Sementara di seberang jalan Aurel berlari terbirit-birit saat melihat pintu gerbang sekolah sudah tertutup.

Aurel mengumpat melihat guru bk berjaga di belakang gerbang. Bisa gawat kalau guru itu melihatnya telat lagi. Aurel menghembuskan nafas kasar, memikirkan hal apa yang harus dilakukannya? Walaupun ia sering telat dan sang papi selalu ditelepon tetap saja hari ini Aurel tidak ingin papinya itu marah. Karena jam enam tadi Aurel sempat dibangunkan tetapi dia enggan bangun dari tidurnya. Alhasil dia ditinggal pergi sama Alex.

Aurel membawa tubuhnya ke samping secara spontan ketika guru bk tersebut menatap ke arah luar. Senyum sumringah terbit, mengingat ada jalan pintas masuk ke dalam sekolah. Aurel berjalan sambil bersenandung kecil ke samping tembok sekolah. Dia juga pernah menyelinap masuk ke sekolah pas telat. Tidak sering.

Langkahnya perlahan melambat. Mulutnya berhenti bersenandung, berganti sebuah umpatan yang keluar. Dia mengerling matanya, jengkel. Menatap seorang lelaki yang seragamnya keluar dan tidak terpasang dasi.

“Si penghancur mood,” ejek Aurel ketika cowok itu berdiri tepat di depannya. Mengingat momen di kafe kemarin, menambah level kejengkelannya pada Raga.

Raga mendengkus. Raga ingin sekali mengatakan bahwa Aurel juga penghancur moodnya, tapi dia tahan karena lagi gak ingin berdebat dengan gadis petakilan tersebut.

Tidak ingin Aurel semakin kesal dengannya, Raga memutar badan menghadap dinding yang dimana menjadi jalan alternatifnya menyelinap ke sekolah saat telat.

“Tunggu.” Perkataan tiba-tiba yang keluar dari mulut Aurel membuat pergerakan Raga yang hendak memanjat terhenti. “Lady first,” lanjut Aurel menunjuk dirinya sendiri, dengan senyum dipaksa.

Aurel melangkah maju membuat Raga menarik langkahnya ke belakang. Dia memasukkan kedua kakinya di celah-celah tembok, dan kedua tangannya masuk ke celah tembok atas kepalanya. Sebelum merangkak di tembok, Aurel menoleh ke belakang menatap Raga yang juga menatapnya.

“Lo mau ngintip gue?” tuding Aurel membuat Raga sontak membalikkan badan. “Cowok gila,” gerutu Aurel tertahan. Kemudian, kembali memanjat tembok dengan hati-hati.

Aurel melihat Gara yang masih dengan posisi yang sama di bawah sana ketika dia sudah berada di atas. Dia tersenyum tipis setelahnya terjun ke bawah dengan asal.

“Lo bisa manjat sekarang,” ujar Aurel sedikit teriak sembari membersihkan roknya.

Tanpa diberitahu Raga sudah lebih dulu memanjat tembok saat suara berisik dari balik tembok memasuki pendengarannya. Tidak sulit bagi Raga melakukan kegiatan ini. Terlihat bagaimana lincahnya kaki dan tangannya bergerak dengan cekatan, hingga tak butuh waktu lama untuk berada di atas tembok.

“Minggir.”

Aurel tersentak dan langsung saja menjauh saat melihat Raga ingin melompat. Aurel berdecak. Matanya melirik Raga dari ekor matanya. Aurel ikut menggerakkan kakinya saat Raga pergi.

“Lo kan cucu pemilik sekolah ngapain lewat sini?”

“Terus kenapa kalo gue cucu pemilik sekolah?” sahut Raga, menatap tak suka gadis petakilan itu. “Kan yang punya kakek gue bukan gue. Gue cuma numpang belajar di sini,” ujarnya.

SAGARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang