Malam semakin larut. Kini jam sudah menuju sebelas lewat, hampir setengah dua belas malam. Naura dan Leo tampak sudah lelah dan mengantuk.
Aurel menatap tak enak hati pada kedua orang itu. Karena menunggu kabar dari pak Tono, supir pribadi keluarganya untuk menjemputnya, tetapi tidak ada pesan maupun telepon, membuat ketiga orang itu harus menunggunya. Padahal Aurel sudah bilang agar Naura dan Gara pulang duluan saja, toh ada Leo yang menginap di sini. Altair dan Azka? Sudah pulang duluan setelah setengah jam Luca pergi.
Leo berakhir tidur dengan posisi yang bersandar di kursi, dan Naura tertidur dengan menopang dagunya. Dan, Gara? Aurel membuang pandangannya ke arah dapur, menatap lelaki itu berdiri di sana. Entah sedang apa yang dilakukan Gara di sana.
Aurel mengerutkan keningnya. Dia menajamkan penglihatannya saat Gara memasukkan sesuatu ke dalam saku celana. "Apa itu?" gumamnya. Namun, Aurel buru-buru membuang muka saat Gara hendak berbalik badan. Dia berpura-pura memainkan ponselnya. Berlagak tidak memperhatikan. Astaga, hampir saja! Detak jantungnya berdebar kencang. Tunggu... kenapa dia harus curi-curi pandang ke sang pujaan hatinya? Bukannya biasanya dia terang-terangan menunjukkan rasa sukanya pada lelaki itu?
Aish!
Aurel menggeleng-gelengkan kepala pelan. Aurel mendongak saat melihat sepasang sepatu di bawah sana. Dia menutup rapat-rapat mulutnya, dengan pupil mata membesar. Aurel mengalihkan pandangan ke arah dapur kemudian menatap Gara. Sejak kapan lelaki itu berdiri di depannya? Aurel tidak mendengar suara langkah sama sekali.
"Ayo," ucap Gara datar. Terlalu datar.
"Om mau ngajak gue pulang maksudnya?" tanya Aurel walaupun mengerti maksud ajakan Gara, yang dibalas anggukan kecil dari lelaki itu. "Ngomong kok ngirit banget," dumel Aurel memutar bola mata.
Di detik berikutnya Aurel menggeleng, "Gue nunggu pak Tono aja, lagian gue gak sendirian di sini," jawab Aurel santai, dengan posisi yang masih sama- mendongak. Aurel mulai merasakan lelah di lehernya.
"Kenapa?" tanya Aurel menatap Gara yang masih setia berdiri di hadapannya. Padahal Aurel sudah menolak ajakannya.
"Om khawatir sama gue?" Aurel menaikkan sebelah alisnya.Gara mengangguk membuat pupil Aurel kembali melebar. Sudut bibir Aurel terangkat, menampilkan senyum yang indah. Kapan lagi coba bisa dikhawatirkan sama pujaan hatinya?
Aurel bangkit dari duduknya. "Serius?"
Gara berdehem. "Karena kamu anak sahabat orang tua saya." Perkataan simple tapi sangat menusuk uluk hati seorang gadis petakilan itu. Membuat senyum Aurel langsung memudar. Setelah dianggap hanya orang asing, sekarang lelaki itu melihat Aurel sebagai anak dari sahabat orangtuanya.
Aurel berdecak kesal. "Gapapa deh yang penting om khawatir sama gue walaupun dianggap-" Aurel mengedikan bahu acuh, tidak melanjutkan kalimatnya karena enggan ingin mengulangi ucapan Gara.
"Kamu yakin pak Tono jemput?" tanya Gara mengalihkan obrolan ke semula. "Kamu gak bohong lagi?"
Kening Aurel berkerut. Kemudian dia mengangguk ragu. Kenapa lelaki itu bertanya seakan-akan supir pribadi Aurel tidak bisa menjemputnya?
Bohong lagi? Sejak kapan Aurel berbohong pada lelaki itu? Gadis petakilan itu berpikir keras menggali memorinya, sebelum suara datar itu bergema di pendengarannya."Naura." Gara memutar badannya ke arah Naura yang tertidur di single sofa, membuat perempuan itu terkejut.
"Iya?" ujar Naura setengah sadar. "Pulang?"
Gara berdehem sebagai responnya. Dia berjalan melewati gadis petakilan itu. Tanpa menoleh sedikit pun. Namun, baru beberapa langkah Gara berhenti, "Bawa juga tuh bocah," ujarnya pada Naura tanpa berbalik badan. Lalu, kembali melangkahkan kakinya keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAGARA
Teen Fiction"Aku tunggu kamu sampai beranjak dewasa, my little girl." ~Sagara Alexander Pratama. ••••• "Eum... Nama gue? Hmm... Gimana kalau panggil sayang aja biar om bisa ingat terus sama gue." ~Rosalind Aurellia Daisha. ••••• Yuk, langsung baca dan jangan lu...