Lima hari berlalu. Selama itu Aurel tidak menampakkan diri di depan sang pujaan hati. Selama itu juga dia menahan gejolak rindu yang sangat menggebu-gebu, ingin lepas menuju sarangnya– Gara.
Kenapa juga dia yang harus rindu pada lelaki itu? Kenapa tidak Gara saja?
Kenapa lelaki itu memperlakukannya dengan sangat berbeda dari para cowok datingnya? Tidak bisakah lelaki itu yang datang padanya lebih dulu dan mengatakan rindu? Apakah sesusah itu bagi Gara? Tidak ada jawaban karena Aurel bukan siapa-siapa bagi lelaki itu. Dia hanya orang asing, itulah yang dikatakan Gara pada malam itu.
Aurel merutuki hatinya yang tidak bisa lepas dari Gara. Yang awalnya Aurel hanya ingin membungkam sikap sok jual mahal lelaki itu tetapi malah Aurel yang harus terjebak dalam perasaannya sendiri. Yang biasanya cowok mengejar-ngejar dan meminta membalas perasaan mereka pada Aurel, dan kini kebalikannya, Aurel lah yang harus mengejar cowok bernama Gara itu. Karena sikap acuh tak acuh sang pujaan hati, Aurel juga kalah tantangan dari dirinya sendiri yang ingin memenangkan hati sedingin kutub utara itu. Dia dengan percaya dirinya mengatakan bahwa Gara sendiri yang akan bilang dengan senang hati akan menghabiskan seluruh hidupnya bersama gadis centil ini, pada hari pertama mereka bertemu.
Aurel mengeratkan pelukannya pada bantal. Mencengkram erat bantal. Kembali mengingat momen beberapa hari yang lalu.
Ucapannya pada Sara, Aurel dengan pede mengatakan gak lama lagi Gara akan kepincut padanya. Namun, kenyataannya tidak. Gara sama sekali tidak tertarik padanya. Sepertinya Aurel tidak akan berhasil. Jangankan mendapat hati lelaki itu, menarik perhatian dan meluluhkan hati yang sangat dingin itu sangat sulit.
Aurel masih ingat kalau lelaki itu susah banget dengan perempuan, yang dikatakan Sara tempo hari. Tetapi Naura? Naura, perempuan perebut pacar orang itu, entah dengan apa dia menyihir Gara hingga mereka bisa sedekat itu. Aurel jadi penasaran trik Naura.
Aurel menghela nafas panjang. Membawa punggungnya bersandar pada tepi kasur. Dia sudah tidak waras selama lima hari ini. Bagaimana mana tidak, dia mengurung diri dalam kamar sesudah pulang dari sekolah. Dia yang selalu mengajak kedua sahabatnya hangout, dalam lima hari ini berbeda, Aurel pulang lebih awal membuat kedua sahabatnya itu bingung. Mood nya sangat tidak baik di sekolah, dia lebih banyak diam. Bahkan Aditya menemui Aurel ke rumah karena Aurel cepat pulang. Namun, Aurel tidak ingin keluar dari kamar dan menyuruh Aditya untuk pulang saja.
Aurel mengerti niat baik sahabatnya itu untuk menghibur suasana hatinya,
tapi dia tidak ingin egois membiarkan Aditya masuk dan mendiamkannya, sebab percuma saja sahabatnya itu menghiburnya dengan segala cara. Karena yang hanya bisa membuat mood nya membaik adalah orang yang sama membuat Aurel badmood dalam lima hari ini– Gara.Aurel pengen memunculkan dirinya di depan Gara saat ini, melepaskan kerinduannya yang sangat menyiksa ini. Tetapi gengsinya menghalanginya. Aurel masih belum bisa melupakan nada tinggi Gara. Dia juga sudah bilang tidak akan mentoleransi cowok yang menggunakan nada tinggi ketika bicara.
“Karena papi nih! Coba aja papi gak gengsian orangnya mungkin putrimu ini juga gak gengsian,” gerutu Aurel kesal malah menyalahkan sang papi.
Tubuh gadis petakilan itu merosot ke bawah. “Pengen ketemu om, tapi gak mau liat dia,” raung Aurel menghentak-hentakkan kakinya.
Karena Aurel masih mengingat gimana hatinya berdenyut sakit dibentak oleh sang pujaan hati, apalagi di depan perempuan perebut pacar orang.
Aurel sudah bertekad pada malam itu tidak mau bertemu Gara lagi. Maka tekadnya itu tidak akan goyah. Aurel menyemangati dirinya. Dia pasti bisa. Masih banyak cowok yang lebih ganteng, matang, sopan, dan lembut dari Gara. Betul, kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
SAGARA
Teen Fiction"Aku tunggu kamu sampai beranjak dewasa, my little girl." ~Sagara Alexander Pratama. ••••• "Eum... Nama gue? Hmm... Gimana kalau panggil sayang aja biar om bisa ingat terus sama gue." ~Rosalind Aurellia Daisha. ••••• Yuk, langsung baca dan jangan lu...