✧;── Happy Reading ──; ✧
Seberkas cahaya matahari lebih dulu membangunkannya dari pada alarm yang sudah ia setel pukul 7 pagi. Silaunya menerobos jendela hingga menembus gorden berwarna abu-abu di kamarnya. Akibat terganggu, ia pun mengerang kesal. Walau dalam pikirannya ia langsung menebak hari ini akan secerah hari sebelumnya yang begitu kelabu pilu. Sepantasnya ia harus senang.
Tepat ketika ia membuka mata, alarm pukul 7 pas berbunyi, dan berbarengan dengan itu, notifikasi pengingat muncul dari layar ponselnya, 'ke rumah sakit'.
"Aah." Bara mendesah kesal.
Ini alasan ia harus menyetel pengigat karena pasti akan melupakan janji atau kegiatan yang sudah ia rencanakan sebelum hari H. Dan ia baru saja melupakan rencana kunjungannya ke rumah sakit jika saja dua hari yang lalu ia tak menyetel pengingat pada aplikasi kalender di ponselnya.
"Bara?" Suara Mama terdengar. Tak lama dari itu, pintu terbuka menampilkan sosok Mama dengan senyum sayangnya.
Bara masih duduk di atas ranjangnya. Sebagian badannya, dari kaki hingga pingang masih diselimuti bedcover tebal berwarna putih, membuat setengah badan cowok itu terekspos tanpa baju. Bara bertelanjang dada, seperti kebiasaanya yang tak pernah memakai baju ketika tidur.
"Habis dari rumah sakit, kamu mau langsung jenguk Zeline?" Mama fokus membuka gorden kamar Bara ketika menanyakan itu.
Bara mengangguk. Namun, karena fokus sang mama bukan ke arahnya, ia pun jadi menjawab. "Iya."
"Kalau gitu kamu cepat siap-siap!"
Bara menguap, masih duduk di atas ranjang dengan wajah yang masih menyisakan ekspresi kantuk. Namun, sesaat setelahnya ia harus melawan rasa kantuknya, sehingga dengan paksa ia pun bangkit, lalu menuju kamar mandi.
****
Pukul 08.30 Bara sudah berada di dalam ruang kamar inap Rekka. Penghuninya sendiri tengah duduk di atas ranjang dengan tampilam wajah bagian mata yang dibalut perban, melingkar hingga belakang kepala.
"Sudah siap?" tanya sang dokter.
Rekka mengangguk. Sedangkan Bara memerhatikannya dengan perasaan yang tak bisa ia jabarkan. Namun, fokusnya benar-benar menghunus dua insan di depannya. Satunya duduk dengan harap-harap cemas, satunya lagi tengah mengunting perban dengan berhati-hati.
"Boleh dibuka perlahan-lahan," ucap sang dokter tersebut mengintrupsi Rekka.
Rekka tak mengangguk. Namun, gadis itu mulai membuka matanya secara perlahan. Awalnya semuanya tampak kabur di penglihatannya, hingga detik demi detik terus berlanjut, penglihatan itu mulai fokus perlahan-lahan, hingga sosok berekspresi gamang menjadi hal yang pertama kali ia lihat sejak detik ia dinyatakan bisa kembali melihat.
Rekka berkedip-kedip. Masih menatap Bara dengan reaksi kosongnya sebab masih mencerna dan memproses sesuatu yang kini sudah bisa ia lihat kembali, setelah tidak lebih dari dua bulan ia seakan hidup di dalam kegelapan. Kini semuanya kembali berwarna dan berwujud.
"Bara?" panggil Rekka.
Bara hanya mengedikkan dagu guna menanggapi panggilan dari Rekka. Namun, bukannya mengatakan maksud ia memanggil Bara, Rekka justru menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Udah bisa liat, kan? Awas aja lo masih pengen liat Unicorn!" Candaan Bara sebagai awal kalimat tanggapan mengenai apa yang sedang terjadi hari itu membuat perasaan Rekka sedikit menghangat. Setidaknya kalimat sarkas itu tak benar-benar sesarkas pendengarannya.
"Ayo jenguk Zeline," ajak Rekka.
Sesaat Bara hanya terdiam, hingga di detik ke 3, cowok itu mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
APLISTIA [END]
Mystery / Thriller⚠️Belum direvisi⚠️ Kisah dimulai dengan banyak teka-teki. Sebelumnya, selamat datang di Batara High School, sekolah megah dengan karakter siswa siswi yang beraneka ragam. Ada anak baru yang mempunyai kepercayaan diri tinggi, ada gadis yang berjuang...