"Dhiraaaa."
Teriakan melengking itu mengalihkan beberapa atensi orang yang tengah berjalan di koridor. Mereka memandang seorang gadis yang berlari tergesa-gesa dengan pandangan heran.
Sang pemilik nama menoleh, menaikkan satu alisnya. "Kenapa?" tanyanya setelah seseorang yang memanggilnya berdiri di depannya dengan nafas terengah.
"Sebentar," ujarnya menjeda seraya menghirup udara rakus, mengisi rongga dadanya yang kosong.
"Nggak pa-pa sih, cuma suruh nungguin," lanjutnya dengan cengiran khasnya, membuat kedua sahabatnya memandang dirinya datar.
"Fellin, lain kali jangan teriak, nggak baik," nasihat gadis yang di panggil Dhira tadi.
"Biar kalian denger." Ia segera merangkul kedua sahabatnya menuju kelas. "Dhira, lo beneran di jodohin?"
Dhira menoleh, kemudian mengangguk. "Iya, jangan ngomongin itu di sekolah, oke?" pintanya lembut.
"Iya deh," ucapnya pasrah.
Mereka bertiga memasuki kelas, membuat beberapa anak melihat mereka. Ada yang menatap biasa saja, dan juga ada yang menatap mereka sinis.
"Dhir, nanti jadi ke mall?" tanya Cellyn, sahabat Dhira. Ia menatap Dhira yang duduk di belakangnya.
"Insyaa Allah, Ummah juga udah kasih izin kok," balasnya seraya tersenyum sampai membentuk eye smile. "Tapi cuma satu jam, nggak boleh lebih," lanjutnya.
Cellyn mengacungkan jempolnya. Akhirnya mereka larut dalam beberapa obrolan mengenai tugas sampai guru mapel pertama masuk, dan pelajaran pertama di mulai.
.....
"Alzam," panggil seseorang.
Sang empu menoleh dengan wajah datar khasnya, tak ada ekspresi apa pun.
"Kalo di panggil itu jawab," kesal seseorang tadi.
"Jawab," balas Alzam singkat.
Akbar, pemuda yang memanggil Alzam tadi menatap Alzam cengo, mulutnya menganga tak percaya. "Nggak kayak gitu yang gue maksud, gemes deh," ujarnya geram seraya mengacak rambutnya.
Alzam hanya diam, kemudian kembali fokus pada buku di tangannya. Lebih baik membaca buku daripada mendengar ocehan tak jelas temannya.
"Al."
Alzam kembali menoleh, bukan ke arah temannya tadi, tapi satunya. Ia menaikkan satu alisnya tanda bertanya.
"Lo nerima?"
Pertanyaan tersebut membuat wajah Alzam semakin datar, tatapannya juga semakin dingin. Dengan malas ia mengangguk. "Ya."
Nabil, sosok sahabat Alzam yang bertanya tadi menghela nafas. Tangannya menepuk pundak sang empu. "Jangan main-main," ucapnya serius.
Alzam mengedikkan bahunya, ia kembali fokus terhadap bukunya. Tak terlalu perduli dengan pertanyaan tak berfaedah yang terlontar dari mulut sahabatnya.
"Bil, si Cakra mana? Tumben tuh anak belum buat rusuh," seru Akbar dengan kerutan di dahinya.
"Di kan--"
Ucapan Nabil terhenti kala sebuah teriakan yang terdengar familiar menggelar di kelasnya. Sang empu yang berteriak cengengesan tak jelas, ia langsung duduk di depan Alzam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alzam (END)
Teen FictionBUDAYAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA. TETAP JADIKAN AL-QUR'AN SEBAIK-BAIKNYA BACAAN. .... Kisah antara dua remaja yang bersatu karena adanya perjodohan. Awalnya hanya sifat dingin dengan sikapnya yang tiba-tiba, namun seiring berjalannya waktu sifat di...