37. Sebelas

7.5K 512 12
                                    

Pemandangan dengan hamparan pasir serta gelombang air yang menyisir daratan membuat mata Dhira berbinar. Dibalik cadar yang terpasang rapi, senyuman lebar Dhira membuat matanya membentuk bulan sabit. Tidak ada hal yang lebih indah dari ini. Menikmati segala keindahan ciptaan sang Tuhan Yang Maha Kuasa bersama ciptaan paling indahnya.

"Nadh, panas. Mau pake topi aku?" Suara lembut itu mengalun indah di pendengaran Dhira. Kini sepasang suami istri yang saling menggenggam tangan masing-masing pasangannya itu baru sampai di Bali. Tempat orang-orang berlibur.

Kepala Dhira menggeleng, menolak tawaran Alzam saat laki-laki itu berniat melepas topinya. Akhir-akhir ini sikap Alzam yang dulunya irit bicara mulai berubah. Bukan berubah biasa, melainkan berubah banyak. Alzam sering bertanya dan berbicara panjang. Tidak ada lagi Alzam yang berbicara satu atau dua kata. Tetapi hanya di depan istrinya saja, Dhira.

"Bener? Ini panas, Sayang." Bahkan laki-laki itu sudah tidak canggung dan kaku lagi ketika berucap romantis. Seperti memiliki kepribadian ganda, Alzam pasti akan berubah drastis ketika ada banyak orang. Tapi, saat hanya ada Alzam dan Dhira, laki-laki itu akan mengeluarkan sifat aslinya.

"Aku nggak pa-pa, Alzam. Lihat deh, banyak juga yang malah nggak pakai baju." Sedikit tertawa ketika Alzam justru menarik tubuhnya dan menyembunyikan wajah tepat di leher istrinya. Namanya pantai Bali, pasti banyak wisatawan luar negeri yang berpakaian terbuka. Lucunya lagi Alzam benar-benar tidak berani mengangkat wajahnya, kepala laki-laki itu tertunduk, sesekali menatap wajah istrinya.

"Kenapa, sih? Nggak malu apa sembunyi-sembunyi kayak gini? Diliatin orang banyak loh," goda Dhira dengan tangan yang mengelus lengan kekar Alzam. Masih setia di tempatnya bersembunyi, Alzam bersuara dengan gumaman yang tidak terlalu jelas.

"Aku malu, Nadh. Masa mereka terbuka banget." Pelan, suara itu benar-benar pelan sampai Dhira hampir tidak mendengarnya karena bebarengan dengan suara deburan ombak.

"Kenapa kamu yang malu? Mereka loh yang pamer, bukan kamu." Terselip tawa kecil disela ucapannya. Dhira benar-benar tidak menduga bila laki-laki kaku yang dulu susah sekali mengekpresikan segala hal kini mulai terbuka padanya. Benar kata Papa mertuanya, Alzam bukan tipe orang yang akan selalu menyembunyikan segala hal. Melainkan laki-laki itu suka sekali menceritakan semuanya, setiap hal tanpa terkecuali.

"Pulang aja, yuk! Ini juga panas, nanti kamu item." Lepas sudah tawa Dhira yang dari tadi ditahannya. Suara Alzam yang sedikit merengek seperti anak kecil mengajak Mamanya pulang membuat perutnya geli.

"Oke, pulang aja. Kasian banget suami aku mukanya sampe merah gini." Dhira menatap wajah yang kini tepat di depannya, benar-benar merah. Entah apa yang membuat Alzam malu seperti ini, tapi alasannya pasti karena para wanita itu. Lucunya lagi mata Alzam benar-benar terfokus pada mata Dhira, tidak melirik atau menatap sekitar.

"Ayo pulang! Lebih baik di hotel, di sini mata aku ternodai," ajak Alzam lagi. Rasanya takut sekali ketika sampai dan melihat banyaknya wanita dengan pakaian seterbuka itu. Seperti melihat hantu, Alzam langsung menunduk, tak berani mengangkat wajahnya.

Akhirnya Dhira menuruti ajakan pulang Alzam. Terlalu lama di sana juga tidak baik. Apalagi Alzam yang nampaknya benar-benar malu dengan ini semua. Tapi, tidak bisa dipungkiri jika wajah memerah Alzam sangat-sangat lucu.

"Mampir makan dulu?" Rasanya aneh setiap Alzam bertanya seperti ini. Perlakuan kecil yang berdampak besar untuk jantungnya. "Nadh, mau makan dulu?"

Dhira yang sempat melamun harus tertarik kembali ke alam sadarnya saat mendengar suara Alzam. Ternyata laki-laki itu kini memasang seatbelt untuknya. Arrgghhh, kenapa Alzam sekarang sangat meresahkan? Benar-benar tidak baik untuk kesehatan jantung ini mah.

Alzam (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang