7. Kehidupan Baru

15.8K 918 16
                                    

Kedua netra cantik itu mengerjap, menyesuaikan cahaya yang masuk. Hal yang pertama kali ia lihat adalah langit kamar. Menarik nafas dalam-dalam dan mendudukkan dirinya.

Setelah membaca do'a, ia beranjak dari ranjang. Dahinya berkerut kala mengingat ia sudah menikah, dan tidur satu kamar dengan sosok suaminya. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan seseorang itu.

"Dia kemana?" monolognya pelan. Mengangkat bahu acuh dan memilih melakukan rutinitasnya di pagi hari.

Beberapa saat kemudian, ia sudah selesai melakukan segala rutinitasnya. Menatap dirinya dari pantulan cermin seraya membenahi letak cadarnya. Pikirannya bertanya-tanya mengenai keberadaan sang suami, karena sedari tadi ia belum melihat batang hidungnya.

Ceklek

Mendengar suara pintu di buka, Dhira menoleh. Mendapati Alzam yang tengah menutup pintu. Dahinya berkerut, darimana suaminya ini? Apakah semalam Alzam tidur di kamar lain?

"Alzam," panggilnya pelan.

Alzam mengurungkan niatnya untuk ke kamar mandi. Ia menatap istrinya itu dengan satu alis yang dinaikkan.

"Darimana?" tanya Dhira setelah diam beberapa saat. Ia sebenarnya tak ingin bertanya hal seperti ini, namun ini suaminya, haknya untuk mengetahui itu.

"Masjid," balas Alzam singkat.

"Oh, yaudah, Dhira pamit ke bawah duluan." Ia segera berjalan menuju pintu kamar. Tapi sebelum ia meraih kenop pintu, ada sebuah tangan yang menghentikan pergerakannya.

"Siapin baju!"

Dhira memiringkan kepalanya, menatap Alzam bingung. Haruskah ia menyiapkan baju? Ia tahu jika itu adalah salah satu tugasnya sebagai istri. Tetapi, apakah itu harus ia lakukan sekarang?

Dengan kaku ia mengangguk. Menarik pelan tangannya dari genggaman lembut Alzam. Ia segera melesat mencari keberadaan koper suaminya itu, dan menyiapkan apa yang di perintah tadi.

.....

"Kapan kalian pindah?" tanya Fadlan.

Mereka sedang berkumpul di ruang tengah, mengobrol ringan untuk meng-akbrabkan diri. Karena interaksi antar keluarga perlu di mulai untuk kedepannya.

"Dhira ikut Alzam aja," jawab Dhira yang masih asik dengan kartun kesukaannya, si botak kembar.

Pandangan Abi kini menatap penuh sang menantu. Yang di tatap hanya menampilkan raut wajah datar khasnya.

"Nanti sore," balasnya seperti biasa, datar tak bernada.

Dhira menoleh, ia menajamkan matanya. "Kok nanti sore? Cepet banget ihh," protesnya tak terima. Nanti sore? Apa ini? Ia masih ingin bermanja dengan Abi-nya.

Alzam tak menjawab, terlalu malas menanggapi suatu pertanyaan yang sudah ada jawabannya. Menurutnya, itu terlalu membuang tenaga.

Abi terkekeh mendengar suara kesal putrinya. "Katanya ikut Alzam, kok marah?" tanyanya menggoda.

"Abiiiiii," rengek Dhira kesal.

Fadlan yang faham merentangkan kedua tangannya, yang disambut baik oleh Dhira. Ia segera mendekap tubuh kecil itu, kecil, dan akan selalu begitu.

Dengan sabar, Fadlan mengelus punggung itu. Ada perasaan tak rela jika putrinya ini harus meninggalkan dirinya bersama laki-laki lain. Tapi ia tahu, laki-laki itu adalah penerusnya, pelindung putri kecilnya.

Alzam (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang