Alzam menatap langit yang bertabur bintang dengan tatapan kosongnya. Ia sedang duduk di balkon kamar, menenangkan hatinya yang sedikit gelisah.
Menghela nafas gusar dengan tangan yang meraup wajahnya. "Mama," gumamnya lirih.
"ALZAM."
Teriakan itu membuat Alzam kembali memasang wajah datarnya. Ia beranjak dari duduknya dan menghampiri Dhira yang tengah belajar karena besok ujian.
"Bantuin," rengek Dhira ketika melihat Alzam berjalan ke arahnya.
"Mana?"
"Ini," tunjuknya pada sebuah soal yang membuatnya ingin menangis.
Perlahan, Alzam menjelaskan satu persatu soal yang menurut Dhira sulit. Tak terasa waktu sudah larut, membuat kedua mata Dhira mengantuk.
"Mau tidur," lapornya pada Alzam dengan kepala sedikit mendongak.
"Beresin!" titah Alzam.
"Capek, Alzam," rengek Dhira dengan mata yang sudah memerah.
"Sana!"
Dhira dengan senyum cerahnya melangkah menuju ranjang. Saat kedua matanya akan tertutup, ia mengingat sesuatu. Sesuatu yang bahkan belum ia tunjukkan pada Alzam, padahal itu adalah hak suaminya itu.
"Jangan ngelamun!" Alzam menatap wajah Dhira yang sedari tadi diam saja dengan datar. Ia masih berdiri, karena masih ada beberapa urusan yang harus ia selesaikan.
"O-oh, iya," balas Dhira gugup. Ia kembali mendudukkan dirinya yang membuat Alzam menaikkan satu alisnya.
"Maaf," ucapnya dengan kepala menunduk.
"Untuk?" Alzam merasa heran dengan sikap Dhira. Seingatnya, istri kecilnya ini tak memiliki kesalahan apa pun, lalu mengapa minta maaf?
"Itu... Dhira belum berani memperlihatkan mahkota Dhira," cicitnya pelan.
Alzam yang mendengar itu hanya tersenyum tipis. Ia mendudukkan bokongnya di pinggir ranjang, tepat di hadapan Dhira. Tangannya terangkat untuk mengelus puncak kepala itu dengan lembut. "Nggak pa-pa."
"Tapi, kata Ummah ini hak kamu."
"Lebih hak lo, karna yang jaga bukan gue."
"Bukan gitu," kesal Dhira. Ia sudah mengangkat wajahnya guna melihat sepenuhnya wajah suaminya ini.
"Terus?"
"Alzam nggak mau lihat?" tanyanya setelah beberapa detik terdiam. Takut jika ucapannya salah.
"Boleh?"
Dhira kembali terdiam, ada perasaan ragu di hatinya. Namun, ia juga teringat bahwa ini suaminya, mahramnya. Tak berselang lama, ia menganggukkan kepalanya. "Boleh."
"Nyesel?"
"Insyaa Allah, nggak. Lagian Dhira jaga ini juga buat kamu, kan?"
Alzam hanya diam dengan mata yang menatap lurus ke arah bola mata cantik itu. Apakah ini sudah waktunya? Ia sedikit takut jika Dhira akan menyesal.
"Bener?" tanyanya lagi.
"Iya, Alzam," jawab Dhira gemas.
Perlahan, tangan Alzam terangkat untuk membuka khimar itu. Sampai akhirnya ia dapat melihat rambut hitam legam, tak terlalu panjang. Harum yang biasa ia cium ketika memeluk Dhira menguar. Kedua sudut bibirnya terangkat sedikit, membentuk sebuah senyuman tipis.
Dhira hanya menunduk, malu ketika harus membuka sesuatu yang sudah ia tutupi selama ini. Tapi, ada sebuah rasa bahagia ketika yang melihat ini semua adalah suaminya, bukan orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alzam (END)
Teen FictionBUDAYAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA. TETAP JADIKAN AL-QUR'AN SEBAIK-BAIKNYA BACAAN. .... Kisah antara dua remaja yang bersatu karena adanya perjodohan. Awalnya hanya sifat dingin dengan sikapnya yang tiba-tiba, namun seiring berjalannya waktu sifat di...