17. Suapan di Kantin

13.5K 807 5
                                    

Suara lantunan adzan yang merdu itu terdengar, membuat siapapun yang mendengar akan merasa begitu nyaman. Hal itu yang sedang dilakukan Dhira, mendengar adzan itu dengan bibir yang tersungging manis.

Setelah acara berbagi tadi, Alzam mengajaknya ke masjid untuk mengerjakan perintah-Nya. Bukan hanya mereka, tapi semua teman Alzam yang tadi ikut membantu dalam berbagi.

Di sana tadi tak hanya berbagi, melainkan belajar banyak hal. Dhira melihat bagaimana teman dari suaminya itu mengajarkan ilmu yang seharusnya anak-anak itu dapat dari sekolah maupun dari tempat mengaji. Sungguh, ia tak menyangka jika Alzam seperti itu. Beribu kata syukur selalu ia ucapkan, karena tak salah ia menerima perjodohan ini.

Dan lagi, Alzam menawarkan jika dirinya saja yang adzan karena mu'adzin masjid ini tidak bisa datang. Benar, pilihan orang tua adalah sesuatu yang telah disiapkan Allah.

Setelah selesai mengerjakan kewajiban sebagai muslim, Dhira kini duduk di teras masjid menunggu Alzam yang belum keluar. Tatapannya beralih pada segerombol laki-laki yang mungkin seumuran dengan Alzam berjalan keluar dari masjid.

Alzam tanpa banyak kata berdiri di samping Dhira, menutupi dari tatapan teman-temannya yang belum tentu mengarah ke kebaikan.

"Cielah Bos, nggak bakal gue culik juga," ucap salah satu dari mereka dengan jahil.

"Kemana lagi?" tanya Nabil mewakili.

"Keliling," balas Alzam.

Alzam berbalik tanpa menggeser tubuhnya. Ia menatap Dhira yang hanya diam sedari tadi. "Naik motor?" tawarnya.

Dhira mendongak, melihat wajah Alzam yang memang sedikit lebih tinggi dari dirinya. "Kan Dhira pakai gamis."

Alzam mengangguk paham, ia kembali berbalik dan melempar kunci mobilnya pada salah satu temannya. "Motor."

"Motor apa, Alzam? Kalo ngomong yang jelas," seru Akbar gemas. Otaknya tak sepintar itu untuk mengetahui segala yang diucapkan sahabatnya itu.

"Matic."

"Gitu dong, jelas."

Tak berselang lama, semuanya sudah siap untuk berkeliling dengan Alzam sebagai pemimpin. Dhira tersenyum kecil melihat Alzam yang memakai motor berbeda dari teman-temannya.

Alzam mengelus tangan yang melingkar di pinggangnya itu, terasa dingin. Karena dirinya memakai hodie, mempermudah untuk bisa menghangatkan tangan itu.

"Eh?" kaget Dhira ketika merasakan tangannya menghangat.

Senyum samar kembali terbit, ia semakin mengeratkan pelukannya. Menyandarkan dagunya di pundak Alzam yang terasa nyaman.

"Dingin?" tanya Alzam sedikit lebih keras.

"Nggak kok."

Mereka semua terus berkeliling sampai waktu menunjukkan pukul 20.14. Mereka memutuskan berhenti di sebuah warung.

"Mpok, pesen biasanya."

"Yoi."

Dhira tak ingin turun, ia ingin pulang terlebih dahulu. "Alzam, pulang, ya!" pintanya memohon.

Alzam mengangguk, ia menyuruh Dhira untuk turun terlebih dahulu. Setelah melepas helmnya dan helm Dhira, Alzam berjalan sedikit menjauh untuk menelfon seseorang.

Saat ia kembali, sebuah mobil yang berbeda dari yang tadi sudah terparkir di pinggir jalan. "Ayo!" ajaknya pada Dhira yang diam saja.

"Mobil siapa lagi?" tanya Dhira heran melihat mobil yang berbeda dari yang tadi.

Alzam (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang