4. Alzam

13K 810 7
                                    

Langit yang semula gelap berganti terang, membuat orang-orang memulai segala aktivitasnya. Seperti Dhira, ia sudah siap dengan seragam sekolahnya. Berjalan menuruni satu persatu anak tangga menuju meja makan.

"Selamat pagi, Abi," sapanya dengan senyuman manis. Ia memang belum memakai cadarnya, karena itu sudah kebiasaan.

"Pagi, my little princess," balas Fadlan seraya menaruh tablet nya di meja.

"Ummah mana?" Dhira celingukan mencari keberadaan sang Ummah yang belum terlihat. Biasanya ia akan menyapa kedua orang tuanya bersamaan, karena Ummah ada di dapur.

"Ummah di sini, sayang."

Terdengar sebuah suara yang berasal dari pintu ruang makan, membuat Dhira menoleh. Ia semakin melebarkan senyumnya. "Dari mana?" tanyanya setelah Ummah berdiri di depannya.

"Dari Abang tukang sayur, tadi ada bahan yang habis."

Dhira manggut-manggut, kemudian ia duduk di tempat duduknya, menunggu Ummah yang menaruh beberapa bahan di dapur. Netranya beralih pada sang Abi yang sudah fokus kembali pada tablet nya.

"Abi, itu nya di taruh dong. Di rumah itu waktunya Abi sama keluarga, bukan pekerjaan terus," ucapnya menatap sebal Fadlan. Ia memang sudah memberi aturan itu sejak kecil, karena takut Abi-nya hanya terfokus pada pekerjaan dan melupakan keluarganya.

Terdengar kekehan kecil dari bibir Fadlan, membuat Dhira semakin cemberut. Fadlan menaruh tablet nya setelah menyelesaikan beberapa hal, menatap putri kecilnya yang memalingkan wajah dengan bibir cemberut.

"Maaf, Abi ada meeting pagi, dan berkasnya harus Abi pelajari dulu," ujarnya memberi pengertian. Ia faham dengan sifat putrinya ini, selalu ingin di perhatikan oleh keluarganya. Memang sedari kecil Dhira tak pernah kekurangan kasih sayang sedikit pun, membuatnya menjadi manja.

"Iya."

Meskipun mulutnya menjawab, Dhira tetap memalingkan wajahnya. Masih marah dengan Abi-nya, ia juga ingin diperhatikan, bukan hanya tablet nya saja.

Fadlan terkekeh pelan, tangannya terangkat untuk mengelus puncak kepala Dhira dengan sayang. "Jangan marah, nanti pulang sekolah jalan sama Abi, mau?"

Dhira terdiam sejenak, kemudian mengangguk dengan mata yang berbinar. "Mau."

"Mau apa?"

Celetukan itu berhasil membuat keduanya menoleh, kemudian menggeleng bersamaan. "Bukan apa-apa," balas mereka serentak.

Mata Ummah memicing, seolah sedang mencari tahu kebohongan anak ayah tersebut. "Kalian tuh kalo udah kompak pasti ada sesuatu." Ia berjalan semakin mendekat, lalu mendudukkan bokongnya di tempat duduknya.

"Apa sih, Ummah. Nggak ada apa-apa, ya kan, Bi?" Mata Dhira mengedip beberapa kali, seolah memberi kode.

"Bener kata Dhira, nggak ada apa-apa, sayang."

Balasan dari Abi-nya itu membuat Dhira bergidik, ia sedikit geli ketika Abi-nya berkata manis kepada Ummah-nya. "Haha, sayang," ledeknya.

Pipi Ummah merona di balik cadarnya, ia semakin malu ketika putrinya sendiri meledeknya. "Udah, sarapan Dhira, nanti kamu telat."

"Buka cadar dong, Ummah. Gimana mau makan kalo masih pake cadar?"

Ummah menggeleng, karena pipinya pasti masih memerah. "Kamu sarapan dulu aja, Ummah masih harus selesai-in beberapa hal di dapur." Ia segera beranjak dari duduknya, namun sebuah tangan menghentikan gerakannya.

Ia melirik tangan suaminya yang menggenggam tangannya, lalu mendongak untuk bertanya. "Kenapa?"

"Duduk! Sarapan bersama." Fadlan mengode dengan lirikan matanya, menyuruh Ayudia untuk duduk.

Alzam (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang