30. Perubahan

9.7K 622 12
                                    

HALLO SEMUANYA!! AKU BALIK LAGI BERSAMA ALZAM DAN DHIRA.

Maaf udah buat kalian nunggu, karena beberapa kali aku revisi biar nyambung sama part selanjutnya. Sekali lagi aku minta maaf yang sebesar-besarnya.

HAPPY READING!!

.....

Pagi ini Dhira tersenyum senang setelah kejadian beberapa hari lalu. Alzam yang dulunya irit sekali dalam mengeluarkan suaranya, kini mulai berubah. Yup, lelaki yang menyandang sebagai suaminya itu mulai menunjukkan sisi hangatnya.

"Selamat pagi, suaminya Dhira."

Alzam yang tengah mencuci sayur itu menoleh. Bibirnya membentuk senyuman tipis. "Sini!" intruksinya.

Dhira mengangguk, lantas mengambil langkah untuk mendekat pada Alzam. "Kenapa?" tanyanya dengan sedikit mendongak.

Alzam tidak menjawab, laki-laki itu justru melangkah ke samping untuk lebih dekat dengan istrinya itu. "Pagi juga, Humaira-nya Alzam," bisiknya tepat di sisi telinga Dhira.

Tubuh Dhira mematung. Untuk pertama kalinya Alzam membalas sapaannya di pagi hari, biasanya laki-laki itu hanya menganggukkan kepalanya sekilas dan langsung melengos. Dhira buru-buru menutupi wajahnya ketika merasa wajahnya memanas.

Terdengar kekehan ringan, membuat Dhira semakin rapat menutup wajahnya. Dalam hati ia mengutuk jantungnya yang juga berpacu dua kali lebih cepat. Sesaat kemudian, Dhira membuka matanya dan mengintip Alzam di sela jarinya.

"Astaghfirullah," kaget nya.

Cup.

"Kenapa ditutup? Saya ingin melihat wajah kamu, Nadhira."

"Ihh, Alzam, jangan kayak gini," rengek Dhira yang mengundang kerutan di dahi Alzam. Tak ada salahnya bukan, ketika seorang suami ingin memandang wajah istrinya?

Tangan Alzam terangkat, mengelus surai panjang Dhira pelan. "Kenapa? Saya hanya ingin memandang wajah istri saya."

"Kan, udah dibilang jangan pakai formal," kesalnya lagi. Memang beberapa hari lalu, saat mereka di jalan menuju pulang, Dhira protes karena Alzam memakai bahasa formal. Dan Alzam yang tidak ingin melihat wajah cemberut Dhira, menyetujui usulan Dhira untuk tidak memakai bahasa formal.

"Maaf, aku lupa."

Bibir Dhira berkedut mendengar suara kaku Alzam ketika mengucapkan kata 'aku'. Lucu sekali suaminya ini.

"Kok kamu bisa lucu gini, sih?" Dhira tertawa dengan tangan yang bermain di pipi Alzam. Sedangkan Alzam hanya bisa pasrah.

Beberapa saat kemudian, mereka telah selesai memasak. Hanya makanan sederhana, yaitu tumis kangkung, tempe goreng, kerupuk serta sambal. Mereka bisa saja memasak yang lain, tapi hidup sederhana itu perlu. Seperti Rasulullah yang selalu hidup dengan kesederhanaan.

"Alzam, aku pengen tanya deh," celetuk Dhira disela makannya.

"Makan dulu, bicaranya nanti."

"Oke-oke."

Selesai makan dan juga membereskan alat makan mereka, keduanya beralih ke kamar. Hari ini memang keduanya ada janji dengan El—adik Alzam. Bocah itu menelfon dan meminta untuk diajak jalan karena bosan di rumah.

"Alzam, Dhira mau tanya deh."

"Apa?"

Dhira mendudukkan dirinya di samping Alzam yang tengah memangku laptop, entah apa yang sedang laki-laki itu kerjakan. Dhira menyenderkan kepalanya di bahu Alzam, seraya mengintip layar laptop.

Alzam (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang